Senin, 28 Februari 2011

Hubungan Istimewa dan Ketidakwajaran Penetapan Harga

Dalam dunia usaha, adanya kegiatan transaksi antar perusahaan atau orang yang memiliki hubungan afiliasi, hubungan keluarga dan hubungan kepemilikan adalah lazim terjadi.

Dalam prakteknya di dunia akuntansi, hubungan transaksi antar pihak-pihak yang memiliki hubungan afiliasi, hubungan keluarga dan hubungan kepemilikan ini diistilahkan sebagai transaksi antara pihak yang memiliki hubungan istimewa (transaksi hubungan istimewa).

Transaksi hubungan istimewa ini dapat diakui sah secara akuntasi dan pajak, asalkan Wajib Pajak menerapkan kewajaran dan kelaziman usaha. Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dilakukan dengan langkah- langkah sebagai berikut :
a. Melakukan Analisis Kesebandingan dan menentukan pembanding;
b. Menentukan metode Penentuan Harga Transfer yang tepat ;
c. Menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha berdasarkan hasil Analisis Kesebandingan dan metode Penentuan Harga Transfer yang tepat ke dalam transaksi yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa; dan,
d . Mendokumentasikan setiap langkah dalam menentukan Harga Wajar atau Laba Wajar sesuai dengan ketentuan perundangundangan perpajakan yang berlaku.

Namun apabila transaksi yang dilakukan oleh Wajib Pajak dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa mempunyai nilai penghasilan atau pengeluaran tidak melampaui dari Rp 10 Juta maka tidak diwajibkan memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha tsb diatas, tetapi walaupun begitu Wajib Pajak tetap diwajibkan menyelenggarakan dan menyimpan buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain sesuai ketentuan Pasal 28 Undang-Undang KUP.

Kewajiban membuat dokumentasi transfer pricing juga diatur dalam Pasal 18 ayat (3) Perdirjen No. PER-43/PJ/2010 yang secara lengkap berbunyi :
(3) Dokumen penentuan Harga Wajar atau Laba Wajar yang harus disediakan oleh Wajib Pajak sekurang-kurangnya mencakup :
a. Gambaran perusahaan secara rinci seperti struktur kelompok usaha, struktur kepemilikan, struktur organisasi, aspek-aspek operasional kegiatan usaha, daftar pesaing usaha, dan gambaran Iingkungan usaha;
b. Kebijakan penetapan harga dan/atau penetapan alokasi biaya;
c. Hasil Analisis Kesebandingan atas karakteristik produk yang diperjualbelikan, hasil analisis fungsional, kondisi ekonomi, ketentuan-ketentuan dalam kontrak/perjanjian, dan strategi usaha;
d. Pembanding yang terpilih; dan
e. Catatan mengenai penerapan metode penentuan Harga Wajar atau Laba Wajar yang dipilih oleh Wajib Pajak.

Ini adalah aturan baru yang secara khusus menyebutkan kewajiban membuat dokumentasi sebagai dasar penentuan transfer pricing. Bagi Wajib Pajak yang melakukan transfer pricing, yang pada saat dilakukan pemeriksaan tidak bisa memberikan penjelasan dan menunjukkan dokumentasi transfer pricing, maka pemeriksa pajak tentu akan melakukan koreksi atau menghitung ulang besarnya penghasilan atau pengurangan.

Solusi lainnya untuk menghindari ketidakpastian di pihak Wajib Pajak karena penerapan harga, maka sebaiknya Wajib Pajak melakukan APA (advance pricing agreement) dengan DJP. Sehingga tidak ada kekhawatiran lagi dilakukan koreksi fiskal oleh pemeriksa pajak dan tidak akan terjadi sengketa pajak karena harga-harga yang dipakai oleh Wajib Pajak sudah disepakati oleh DJP. Ketentuan tentang APA diatur di Pasal 8 ayat (3a) UU PPh dan Pasal 23 Perdirjen No. PER-43/PJ/2010. Hanya saja, prosedur APA sampai sekarang belum diatur. Mungkin nantinya akan dibuat dalam bentuk surat edaran.

Kesimpulannya, penentuan harga transaksi dan laba usaha (berapapun jumlahnya) apabila terjadi diantara pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa, bisa saja dianggap tidak wajar oleh Pemeriksa Pajak. Maka untuk membuktikan bahwa Wajib Pajak tidak melakukan transfer pricing yaitu dengan menunjukan dokumen-dokumen sebagaimana tersebut diatas dan melakukan APA.  

Dasar Hukum :


  • Peraturan Dirjen Pajak No. PER-43/PJ/2010 tanggal 6 September 2010
  • Surat Edaran SE-110/PJ./2010 tanggal 3 November 2010

Divisi Riset PB Taxand

(qom/qom)


sumber: www.detik.com
dengan perubahan seperlunya 

Jumat, 25 Februari 2011

Yuk, Pangkas Pengeluaran yang Nggak Penting...

Dalam menjalankan kehidupan sering sekali kita mengalami suatu kondisi dimana hal yang tidak terencana malah terjadi. Masalahnya lagi, ternyata hal yang tidak produktif cukup membebankan keuangan kita di kemudian hari.

Contoh yang paling sederhana ketika kita mengunjungi pusat perbelanjaan, toko, maupun pusat elektronik dsb. Dengan mudahnya pola belanja konsumtif terjadi apalagi didalam saku kita terselip beberapa kartu kredit yang memang diciptakan oleh penerbitnya untuk melakukan transaksi seperti itu.

Beberapa fakta konsumtif sering terjadi pada diri kita, hal ini terbukti dengan akrabnya kita dengan percakapan seperti dibawah ini:

"Duh, pengen beli baju deh"
"Eh katanya Gym disitu bagus loh, ikutan yuk"
"Hmm.., gue butuh jeans nih, yang lama udah ga nge-trend"
"Mana yang lebih asik ya?, ipad atau iphone 4?, atau dua-duanya aja deh"
"Nonton konser yuk, band 'itu' mau datang loh ke Jakarta, kapan lagi bisa nonton mereka?"

Selain akrab, mungkin anda sendiri yang mengalaminya. Seringkah kita mengalaminya?

Pembaca yang bijaksana, contoh kejadian diatas adalah hal yang disebut dengan budaya konsumtif, membeli barang, melakukan transaksi keuangan yang tidak terlalu dibutuhkan, hal ini dapat terjadi karena besarnya sifat emosional yang mengalahkan sifat rasional atau ego yang begitu besar hingga ingin memiliki sesuatu yang sama dengan teman atau rekannya agar bisa menjadi bagian dari mereka.

Membedakan antara kebutuhan dan keinginan

Sebenarnya ada jalan yang tepat untuk mengatasi contoh konsumtif diatas yakni, kita dapat melakukan identifikasi antara kebutuhan dan keinginan.

Sebenarnya apa sih yang dimaksud dengan kebutuhan? Kebutuhan adalah sesuatu hal yang diperlukan oleh manusia sehingga dapat mencapai kesejahteraan, sehingga bila ada diantara kebutuhan tersebut yang tidak terpenuhi maka manusia akan merasa tidak sejahtera atau kurang sejahtera. Dapat dikatakan bahwa kebutuhan adalah suatu hal yang harus ada.

Sedangkan keinginan adalah sesuatu tambahan atas kebutuhan yang diharapkan dapat dipenuhi sehingga manusia tersebut merasa lebih puas. Namun bila keinginan tidak terpenuhi maka sesungguhnya kesejahteraannya tidak berkurang.

Untuk membedakan antara kebutuhan dan keinginan, harus dilihat dari segi fungsinya.
Terkadang anda menganggap keinginan sebagai kebutuhan yang wajib dipenuhi.

Inilah pola pikir yang harus diubah, karena jika anda tidak bisa membedakan antara keinginan dan kebutuhan maka konsekuensi logisnya anda tidak biasa membedakan pos pengeluaran yang perlu dan tidak perlu. Karena tidak bisa membedakan maka secara otomatis yang bersangkutan sudah pasti tidak akan bisa mengontrol pengeluaran, jika ini berlangsung kama sudah pasti anda akan mengalami defist keuangan dikemudian hari atau dikenal dengan istilah besar pasak dari pada tiang.

Lalu bagaimana caranya agar tidak menjadi defisit? Ada dua cara yaitu pertama melakukan usaha tambahan agar gaji atau pendapatan bertambah, cara kedua adalah melakukan control atau pengendalian pengeluaran yang tidak perlu.

Cara kedua tentu harus menjadi cara yang lebih mudah karena hanya melibatkan diri sendiri, sedang cara pertama tentu harus melibatkan orang lain, minimal bos anda agar kerja anda dapat dinilai baik oleh sang bos sehingga gaji menjadi meningkat. Dalam hal ini cara pertama akan lebih memakan waktu.

Agar lebih jelasnya silahkan lihat contoh kasus berikut:

Misalkan seseorang wanita mempunyai gaji sebesar Rp 2.290.000 per bulan, tetapi total pengeluaran untuk biaya hidup, cicilan motor dan utang kartu kredit serta premi asuransi anda adalah sebesar Rp 2.665.000 per bulan. Ini menujukan bahwa wanita tersebut mengalami defisit yakni sebesar Rp 375.000, dengan defisit ini berarti ia tidak memiliki pos dana untuk tabungan, ivestasi, maupun dana darurat.

Dengan kondisi seperti ini pula (defisit) ia akan menutupinya dengan melakukan utang (melalui kartu kredit), pada akhirnya wanita ini kelak akan gali lubang tutup lubang.
 
Sebelum kondisi gali dan tutup lubang terjadi maka ada sebuah cara yang sederhana untuk memperbaikinya adalah dengan mengendalikan pengeluaran yang tidak perlu.
Berikut ini adalah rinciannya:

Tabel
    Sebelum Dikendalikan Sesudah dikendalikan Keterangan
PEMASUKAN Gaji Bersih Rp 2.280.000 Rp 2.280.000 Tdk berubah
  Total Rp 2.290.000 Rp 2.290.000 Tdk berubah
PENGELUARAN Utilities      
  Gas Rp 70.000 Rp 70.000  
  Air Rp 60.000 Rp 60.000  
  Listrik Rp 160.000 Rp 160.000  
  Telpon Rp 70.000 Rp 70.000  
  Handphone Rp 170.000 Rp 170.000  
  TV Kabel Rp 135.000 - Tidak perlu
  Internet Rp 100.000 Rp 100.000  
  Makanan      
  Grocery Rp 200.000 Rp 200.000  
  Restoran Rp 100.000 Rp 100.000  
  Transportasi      
  Bensin dan Parkir Rp 450.000 Rp 350.000 Efisiensi
  Cicilan Motor Rp 380.000 Rp 380.000  
  Lain-lain      
  Asuransi Kesehatan Rp 150.000 Rp 150.000  
  Fitness Member Rp 100.000 - Tidak Perlu
  Kartu Kredit Rp 200.000 Rp 200.000  
  Pakaian Rp 100.000 Rp 80.000 Efisiensi
  Salon Rp 90.000 - Tidak Perlu
  Kosmetik Rp 50.000 - Tidak Perlu
  Langganan Koran Rp 80.000 - Tidak Perlu
 
Tabungan, Investasi & Dana darurat
     
  Investasi Reksa Dana - Rp 150.000 Perlu
  Dana Darurat - Rp 100.000 Perlu
TOTAL PENGELUARAN   Rp 2.665.000 Rp 2.290.000  
SURPLUS (DEFISIT)   Rp (375.000)    

Mari kita evaluasi catatan pemasukan dan pengeluaran diatas dengan cara seperti yang dituliskan di awal "mengendalikan pengeluaran yang tidak perlu". Contohnya cable TV, ini adalah pengeluaran yang tidak perlu atau tidak wajib, anda dapat memonton acara TV tanpa menggunakan cable TV.

Lainnya adalah Fitness membership, anda dapat berolah raga tanpa pergi ke fitness centre bukan? Salon, cosmetic, langganan koran juga bukan termasuk dalam pos pengeluaran yang wajib, bukankah koran online saat ini sudah banyak? Dapat dibaca melalui internet?

Demikian juga dengan transportasi, sebelumnya ia sering melakukan kombinasi menggunakan angkutan umum (taksi) dengan kendaraan sendiri (motor) namun dengan efisiensi, penggunaan kendaraan pribadi dioptimalkan.

Bayangkan jika ia mengkapus cable TV, fitness membership, salon, cosmetic, dan langganan majalah serta efisiensi penggunaan kendaraan maka wanita tersebut sudah dapat menekan defisit sebesar Rp 375.000,00 per bulan, bahkan lebih dari itu ia memiliki tabungan, investasi serta pos dana darurat sebesar Rp 250.000,00 per bulannya.

Terkadang pengeluaran lebih besar dari pada pemasukan belum tentu karena pemasukannya yang terlalu sedkit tetapi karena kebiasaan menghamburkan uang.  Bahkan jika anda memiliki pekerjaan dengan 'gaji tertinggi' di dunia pun, anda dapat berada dibawah hutang akibat kebiasaan anda.

Anda dapat mengendalikan pengeluaran-pengeluaran yang tidak perlu tersebut jika anda mau. Memang tidak mudah untuk merubahnya tetapi pasti bisa jika mau. Selamat mencoba!

Prilla Kinanti, Associate Financial Planner  TGRM Perencana Keuangan (qom/qom)

sumber: www.detik.com 

Orang Tua Bisa Menambah PTKP?

Jakarta - Saya ingin menanyakan tentang aturan PTKP. Ada beberapa teman mengatakan, orang tua kandung yang sudah tidak bekerja dapat kita tanggung secara pajak dan akan menambah PTKP sebesar nilai tertentu.

Apakah hal ini benar? Dan bagaimana cara mengurus ke Kantor Pajak? Saya sudah menanyakan hal ini ke "Pajak Online" tetapi setelah 3 bulan ini tidak ada tanggapan sama sekali.

Jawaban:


Dalam Penjelasan UU Pajak Penghasilan no.36/2008 Pasal 7 ayat 1 dan ayat 2 disebutkan bahwa:

Ayat (1) Wajib Pajak yang mempunyai anggota keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus yang menjadi tanggungan sepenuhnya, misalnya orang tua, mertua, anak kandung atau anak angkat diberikan tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) untuk paling banyak 3 orang. Yang dimaksud dengan "anggota keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya" adalah anggota keluarga yang tidak mempunyai penghasilan dan seluruh biaya hidupnya ditanggung oleh Wajib Pajak.

Ayat (2) menyebutkan bahwa keadaan PTKP ditentukan oleh keadaan pada awal tahun pajak.

Lebih lanjut dalam PER-31/PJ/2009 Pasal 11 ayat (3) dan ayat (4) disebutkan bahwa besarnya PTKP bagi karyawati (karyawan wanita) berlaku ketentuan sebagai berikut :
a. Bagi karyawati kawin, sebesar PTKP untuk dirinya sendiri.
b. Bagi karyawati tidak kawin, sebesar PTKP untuk dirinya sendiri ditambah PTKP untuk keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya.

Dalam hal karyawati kawin dapat menunjukkan keterangan tertulis dari Pemerintah Daerah setempat serendah-rendahnya kecamatan yang menyatakan bahwa suaminya tidak menerima atau memperoleh penghasilan, besarnya PTKP adalah PTKP untuk dirinya sendiri ditambah PTKP untuk status kawin dan PTKP untuk keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya.

Berdasarkan ketentuan diatas, apabila saudara adalah :
a. Karyawan dan menanggung sepenuhnya untuk orang tua kandung tidak mempunyai penghasilan dan seluruh biaya hidupnya ditanggung oleh saudara maka dapat memperoleh tambahan PTKP untuk orang tua kandung dengan jumlah tanggungan maksimal 3 orang.

b. Karyawati kawin dan suami saudara bekerja, maka saudara tidak dapat memperoleh tambahan PTKP untuk menanggung orang tua.

c. Karyawati kawin dan dapat menunjukkan keterangan tertulis dari Pemerintah Daerah setempat serendah-rendahnya kecamatan yang menyatakan bahwa suaminya tidak menerima atau memperoleh penghasilan, maka dapat memperoleh tambahan PTKP untuk menanggung orang tua.

d. Karyawati tidak kawin maka dapat memperoleh tambahan PTKP untuk orang tua kandung.

Saudara harus memberitahukan keterangan jumlah tanggungan Saudara dan dokumen terkait kepada pemberi kerja pada awal tahun pajak.

Novilia - Supervisor Tax Compliance PB Taxand.


(qom/qom)

sumber: www.detik.com 

Rabu, 23 Februari 2011

PPH Trading Batubara

Jakarta - Kami sedang mendirikan PT yang bergerak di bidang trading batubara, dimana kami melakukan sourcing batubara di Kalimantan dan menjualnya di Jawa bagian barat. Berapa persen kah PPh badan untuk usaha yang kami jalankan ini? Apakah besaran nilainya berbeda sesuai dengan perputaran omzet bruto dalam 1 tahun?

Terima kasih atas penjelasannya.

Jawaban

Pasal 17 Ayat (1) Huruf b , (2a) UU PPh No. 36/2008 menyebutkan bahwa:

(1)    Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi: b. Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah
sebesar 28% (dua puluh delapan persen).

(2a)    Tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b menjadi 25% (dua
puluh lima persen) yang mulai berlaku sejak tahun pajak 2010.

Lebih lanjut, Pasal 31 E UU PPh No. 36/2008 menyebutkan:

(1)    Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh perrsen) dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).

(2)    Besarnya bagian peredaran bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dinaikkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Berdasarkan peraturan tersebut di atas, maka tarif PPh badan untuk Perusahan Bapak/Ibu yang bergerak di bidang perdagangan batubara adalah sebesar 25% dari
Penghasilan Kena Pajak yang berlaku mulai tahun 2010. Namun apabila peredaran bruto dari Perusahaan Bapak/Ibu tidak melebihi (<=) Rp 50.000.000.000,-  maka Perusahaan Bapak/Ibu mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000,-.


Demikian penjelasan kami.

Verawaty/Supervisor PB Taxand


(qom/qom)

Selasa, 22 Februari 2011

Sudah Benarkah Pengisian SPT OP Anda?

Akhir Maret sebagai batas waktu penyampaian SPT Tahunan Orang Pribadi benar-benar tinggal dalam hitungan hari. Oleh karena itu, idealnya saat ini Wajib Pajak Orang Pribadi mulai mempersiapkan diri untuk mengisi SPT Tahunan, meski terdapat perpanjangan waktu penyampaian SPT Tahunan. Sehingga, penyampaian SPT tidak melampaui batas waktu yang telah ditentukan.

Langkah pertama yang perlu dilakukan untuk mengisi dan menyampaikan SPT Tahunan tentunya adalah memilih SPT Tahunan yang tepat. Boleh jadi karena perubahan kondisi keuangan, jenis SPT yang harus disampaikan Wajib Pajak di tahun ini berbeda dari tahun lalu. Oleh karena itu Wajib Pajak perlu mencermati kondisi keuangannya, lalu menentukan SPT yang sesuai dengan kondisi itu berdasarkan ketentuan perpajakan yang terkini.

Hingga saat ini, masih terdapat 3 (tiga) jenis SPT Tahunan PPh Orang Pribadi (selanjutnya disebut SPT), yaitu Formulir 1170, 1770S, dan 1770SS. Sebagaimana diinformasikan dalam Peraturan Dirjen Pajak No. PER-34/PJ/2009 yang telah diubah dengan PER-66/PJ/2009, peruntukkan masing-masing SPT-SPT tersebut adalah:
  • Formulir 1770 untuk Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha/pekerjaan bebas. Adapun yang dimaksud dengan Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan pekerjaan bebas adalah pengacara, aktuaris, konsultan, penilai, akuntan, notaris, dokter, dan arsitek.;
  • Formulir 1770S untuk Wajib Pajak orang pribadi yang bekerja di satu atau lebih pemberi kerja dengan penghasilan bruto di atas Rp60 juta/tahun;
  • Formulir 1770SS untuk Wajib Pajak orang pribadi yang bekerja di satu pemberi kerja dengan penghasilan bruto tidak lebih dari Rp60 juta/tahun dan tidak memiliki penghasilan lain, kecuali penghasilan berupa bunga bank dan/atau koperasi.

Benar, Lengkap dan Jelas
Setelah menentukan jenis SPT yang tepat, langkah selanjutnya yang perlu dilakukan adalah mengisi SPT itu sendiri. Pengisian SPT pada dasarnya merupakan suatu hal yang mudah. Dalam hal ini Wajib Pajak hanya perlu memastikan bahwa SPT yang diisi telah benar, lengkap dan jelas.


1.      Benar
SPT dikatakan benar jika perhitungannya sudah benar, termasuk benar dalam penerapan ketentuan perundang-undangan perpajakan, benar dalam penulisan, dan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Misalnya, apakah penghasilan yang dilaporkan sudah sesuai dengan keadaan yang sebenarnya atau belum? Dan apakah penghitungan pajak yang terutang atas penghasilan yang dilaporkan telah benar atau belum berdasarkan ketentuan perpajakan yang berlaku?

Lalu ketika kita sudah memastikan bahwa SPT yang diisi telah benar secara material, kita juga harus memastikan bahwa SPT yang juga benar secara formal. Misalnya, sudah sesuaikah identitas yang tertera pada bukti-bukti potong dengan identitas pada kartu NPWP? Jika tidaksesuai, bukti potong (Formulir 1721-A1 atau bukti potong yang lain) yang tersedia dapat tidak diakui sebagai kredit pajak yang notabene berfungsi mengurangi PPh akhir tahun.
 

2.      Lengkap
SPT dikatakan lengkap jika telah memuat semua unsur yang berkaitan dengan objek pajak dan unsur-unsur lain yang harus dilaporkan dalam SPT. Adapun yang dimaksud dengan unsur-unsur lain di sini termasuk penghasilan yang tidak termasuk objek pajak, penghasilan yang dikenakan PPh Final, kekayaan, kewajiban, dan keterangan-keterangan lainnya.

Sebagian Wajib Pajak cukup memahami bahwa seluruh penghasilan yang merupakan objek pajak harus dilaporkan dalam SPT. Yang seringkali dilupakan adalah melaporkan penghasilan yang bukan objek pajak seperti warisan atau hibah dari orang tua dan penghasilan yang telah dikenakan PPh Final. Memang benar kedua jenis penghasilan  tersebut tidak mempengaruhi besarnya pajak terutang. Meski demikian, penghasilan-penghasilan tersebut tetap wajib dilaporkan pada SPT. Karena jika tidak dilaporkan, atas kekayaan yang bersumber dari penghasilan yang bukan objek pajak atau dikenakan PPh Final dapat dianggap bersumber dari penghasilan yang dikenakan pajak.

Kemudian, Wajib Pajak perlu melakukan rekonsiliasi pendapatan dengan kekayaan dan kewajiban  serta penghitungan menggunakan pendekatan biaya hidup. Hal ini untuk mengetahui secara dini tingkat kewajaran dari penambahan harta Wajib Pajak.
 

3.      Jelas
SPT dikatakan jelas jika telah melaporkan asal-usul atau sumber dari objek pajak dan unsur-unsur lain yang harus dilaporkan dalam SPT. Contohnya jika Wajib Pajak melaporkan sejumlah aset dalam kelompok daftar harta, Wajib Pajak harus menjelaskan saat perolehan aset beserta nilai perolehannya. Dan jika aset tersebut diperoleh secara kredit, Wajib Pajak sebaiknya mencantumkan klausul ‘kredit’ pada kolom keterangan yang tersedia pada daftar harta. Kemudian bersamaan dengan hal ini, Wajib Pajak perlu menginformasikan saldo hutang.

Wajib Pajak juga perlu menjelaskan apakah penghasilan yang diterima atau diperolehnya merupakan penghasilan yang dikenakan PPh Final atau tidak. Sehingga dapat diketahui dengan jelas asal-usul objek pajak. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, penghasilan yang dikenakan PPh Final tidak mempengaruhi pajak terutang atau penghitungan ulang tidak perlu dilakukan.

Tips Pengisian SPT

Setelah menentukan jenis formulir SPT yang benar dan menyadari pentingnya mengisi SPT secara akurat, lengkap, dan jelas, hal berikut patut untuk diperhatikan:

a. Segera dapatkan bukti potong
Dengan segera mendapatkan bukti potong, Wajib Pajak dapat segera mengecek kebenaran dari informasi yang tertera pada bukti potong tersebut. Contohnya, NPWP, jumlah dan jenis penghasilan, serta PTK. Seandainya tidak benar, Wajib Pajak masih memiliki waktu untuk meminta pembetulan.

Hal lainnya adalah Wajib Pajak dapat memaksimalkan pengkreditan pajak atas penghasilan yang telah dipotong sebelum pelaporan SPT. Pengkreditan bukti potong yang sudah benar namun diterima setelah pelaporan SPT hanya dapat dilakukan dengan pembetulan SPT. Namun hal ini sudah barang tentu akan mengakibatkan kelebihan pembayaran pajak.

b. Maksimalkan jumlah tanggungan dengan menyesuaikan pada kondisi awal tahun
Seringkali, jumlah PTKP yang diperhitungkan pemotong pajak lebih kecil dari jumlah  PTKP maksimal yang dapat diperhitungkan oleh Wajib Pajak. Hal ini antara lain disebabkan PTKP yang diperhitungkan oleh pemotong pajak bukanlah PTKP yang sesuai dengan keadaan di awal tahun. Oleh karena Wajib Pajak perlu meng-up date jumlah tanggungan karena erat kaitannya dengan jumlah PTKP yang merupakan hak Wajib Pajak dan untuk menjaga  kesesuaian antara bukti potong yang diperhitungkan oleh pemotong pajak dan SPT yang dilaporkan;

c. Jangan lupa lampiri laporan keuangan serta keterangan lain
Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha/pekerjaan bebas dengan peredaran bruto setahun tidak lebih dari Rp4,8 Milyar setahun dapat memilih menggunakan NPPN (Norma Penghitungan Penghasilan Neto) untuk menghitung penghasilan netonya. Untuk Wajib Pajak ini hanya perlu melampirkan pencatatan peredaran bruto selama setahun. Sedangkan Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha/pekerjaan dan tidak menggunakan NPPN, wajib melampirkan laporan keuangan.

d. Jangan lupa perjanjian atas pinjaman yang pernah dilakukan
Untuk transaksi pinjaman dimana Wajib Pajak bertindak sebagai debitur atau kreditur, transaksi ini perlu diiringi dengan perjanjian atau dokumentasi tertulis. Hal ini penting untuk dilakukan agar Wajib Pajak yang berperan sebagai debitur memiliki bukti yang kuat dalam menjelaskan penggunaan dananya. Di sisi lain saat berperan sebagai kreditur, Wajib Pajak dapat menjelaskan asal muasal diperolehnya dana.

e. Hindari penggunaan rekening bank untuk menerima uang titipan dari pihak lain
Usaha ini penting untuk menghindari permasalahan yang dapat timbul pada saat pemeriksaan pajak. Dalam pemeriksaan pajak, aparat pajak dapat beranggapan bahwa semua penerimaan uang dalam rekening koran adalah penghasilan. Oleh karena itu jika Wajib Pajak menerima uang titipan dari pihak lain atau penerimaan lain di luar penghasilan, Wajib Pajak harus melakukan pembuktian.

f. Hindari penggunaan nama untuk kepemilikan aset pihak lain
Seperti tips sebelumnya, tips yang satu ini penting untuk menghindari permasalahan yang sangat mungkin timbul pada saat pemeriksaan pajak. Jika aparat pajak menemukan adanya dokumen kepemilikan aset yang mencantumkan nama Wajib Pajak yang sebenarnya bukan milik Wajib Pajak, aparat pajak dapat beranggapan bahwa Wajib Pajak belum melaporkan seluruh penghasilan yang diperoleh.

Atas semua isu yang telah dibahas sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa ketidaktepatan dalam pengisian dan pelaporan SPT dapat menimbulkan lebih bayar atau kurang bayar atau bahkan sanksi, dan karenanya Wajib Pajak perlu memberikan perhatian penuh atas hal tersebut. Kurang bayar akan dikenakan sanksi 2% per bulan (maksimal 48 persen) sementara keterlambatan pelaporan dikenakan denda sebesar Rp100 ribu per SPT

Menyiapkan SPT, bagi sejumlah Wajib Pajak, mungkin bukan hal yang mudah untuk dilakukan sendiri. Karenanya menjadi bijaksana untuk bertanya dan meminta bantuan kepada orang yang tepat, misal jasa konsultan pajak, sebagai kuasanya. Saat memutuskan hal ini, jangan lupa sertakan surat kuasa yang sesuai dengan peraturan pajak yang berlaku agar SPT yang disampaikan tidak dianggap sebagai SPT yang tidak lengkap.

Bingung Ngurus SPT Tahunan ???

Anda bingung mengurus SPT Tahunan ??
Kami hadir untuk mengatasi masalah Anda dalam pengurusan SPT Tahunan, baik untuk Wajib Pajak Orang Pribadi maupun Badan.

Hubungi kami di:
Telp/Fax. : 024-76632206
atau kirimkan surat ke Kantor Pusat MICRO MANAGEMENT CONSULTANT Jalan Wismasari X No. 1 Ngaliyan-Semarang 50181
Kami Siap membantu Anda.

PUSH YOURSELF TO THE EDGE !!!

Kamis, 17 Februari 2011

PPh Untuk Freelancer

Jakarta - Saya adalah seorang grafis desainer yang bekerja sendirian tanpa ada badan usaha. Belakangan ini saya merasa perlu untuk mengurus masalah pajak ini dan mulai mencari informasi seputar PPH Pribadi.

Penghasilan saya setiap bulan berkisar antara Rp 3 juta sampai Rp 5 juta. Bagaimana cara dan perincian perhitungan PPH-nya?

Jawaban:


Berdasarkan informasi yang anda berikan, anda telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif, dimana berdasarkan Pasal 2 UU KUP No 28 Tahun 2007, disebutkan bahwa setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak.

Berdasarkan Pasal 3 PER 57/PJ/2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-31/2009 Tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi, jenis kegiatan yang anda lakukan dapat dikategorikan sebagai bukan pegawai. Dalam hal ini penghasilan yang anda terima, pajaknya akan dipotong oleh pemberi kerja. Atas pemotongan tersebut, anda akan menerima Bukti Potong PPh 21 yang berfungsi sebagai bukti pelunasan pajak melalui pemberi kerja. Pada akhir tahun Bukti Potong PPh 21 ini merupakan kredit pajak ketika anda mengisi SPT PPh Tahunan Pribadi.

Misalkan :
Bulan Januari anda menerima penghasilan Rp 5.000.000, maka besarnya pajak yang harus dipotong oleh pemberi kerja adalah sebagai berikut :

  • Penghasilan = Rp 5.000.000
  • Pajak yang dipotong =  Rp 5.000.000  x 50 % x 5 % = Rp 125.000.

Atas pajak yang dipotong, pemberi kerja memberikan Bukti Potong PPh 21 kepada anda yang dapat dipergunakan sebagai kredit pajak di SPT PPh Tahunan Pribadi anda.

Hendry, Supervisor PB Taxand

(qom/qom)

Rabu, 16 Februari 2011

Daftar Aturan Pajak Baru - 2011

Jakarta - 1. Selama ini kita mengenal bentuk formulir SPT Masa PPN adalah bentuk Formulir SPT Masa PPN 1107. Sedangkan untuk Wajib Pajak yang khusus terdaftar di KPP wilayah Jakarta, dapat menggunakan Formulir SPT Masa PPN 1108 apabila penyerahan setiap bulannya tidak melebihi 30 transaksi yang diterbitkan Faktur Pajak. Tapi mulai 1 Januari 2011, kita akan menggunakan formulir SPT Masa PPN yang baru. Yang akan mulai diberlakukan untuk pelaporan PPN masa Januari 2011 dan diberi nama sebagai Formulir SPT Masa PPN 1111. (Peraturan Dirjen Pajak No. PER-44/PJ./2010 tanggal 6 Oktober 2010 jo Surat Edaran Dirjen Pajak No.SE-98/PJ./2010 tanggal 6 Oktober 2010)

2. Bagi PKP yang menggunakan Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan, Mulai 1 Januari 2011 nanti harus menyampaikan SPT Masa PPN dengan menggunakan formulir yang berbeda dengan PKP lainnya. Berbeda dengan yang selama ini berlaku. Bentuk formulir SPT Masa PPN khusus bagi PKP yang menggunakan Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan ini diberi kode sebagai Formulir SPT Masa PPN 1111 DM. (Peraturan Dirjen No.PER-45/PJ./2010 tanggal 6 Oktober 2010 jo Surat Edaran Dirjen Pajak No.SE-99/PJ./2010 tanggal 6 Oktober 2010)

3. Mulai 1 Januari 2011, kewenangan pemungutan BPHTB akan dialihkan dari DJP ke Pemda. Segala persiapan pengalihan BPHTB sebagai Pajak Daerah, termasuk menyiapkan narasumber pelatihan teknis pemungutan BPHTB di Pemda dan menutup rekening BPHTB pada bank persepsi atau bank operasional III BPHTB serta pencabutan penetapan Bank Operasional III BPHTB kepada Dirjen Perbendaharaan, akan dilakukan paling lambat sebelum tanggal 31 Desember 2010. Jadi jangan heran jika tahun depan (tahun ini) hal-hal yang terkait dengan proses penagihan, seperti penerbitan Surat Teguran, Surat Paksa, Surat Penagihan Pajak Seketika dan Sekaligus akan dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah. (Peraturan Dirjen Pajak No.PER-47/PJ./2010 tanggal 20 Oktober 2010)

4. Untuk menertibkan angkutan umum liar di darat yang selama ini beroperasi menggunakan pelat hitam, maka kepadanya akan dikenakan PPN. Karena pemilik angkutan liar tersebut dianggap telah memungut PPN dari konsumennya. Sebaliknya  bagi jasa angkutan umum di darat (baik angkutan orang maupun barang) yang dilakukan dengan menggunakan kendaraan bermotor dengan tanda nomor kendaraan (plat nomor) dengan dasar kuning dan tulisan hitam, dengan sistem pengangkutannya baik secara trayek, charter maupun sewa, maka sesuai ketentuan yang berlaku, tidak dikenakan PPN.   (Surat Edaran Dirjen Pajak No.SE-119/PJ./2010 tanggal 16 November 2010)

5. Dalam rangka penyelesaian permohonan keberatan, pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi, pengurangan atau pembatalan SKP atau STP yang tidak benar, dan pembatalan hasil pemeriksaan atau SKP dari hasil pemeriksaan, DJP secara tertulis dapat meminjam buku, catatan, data dan informasi dalam bentuk hardcopy dan/atau softcopy, yang dimiliki oleh WP dan/atau meminta keterangan langsung dari WP. Maka sebelum mengajukan permohonan tsb diatas, pastikan dulu buku, catatan, data dan informasi yang dimiliki telah ter-dokumentasi dengan baik dan lengkap, untuk memudahkan WP menghadapi persidangan nanti. (Surat Edaran Dirjen Pajak No.SE-112/PJ./2010 tanggal 5 November 2010.)

6. Dalam rangka mendukung pemanfaatan basis data pajak untuk kepentingan internal DJP, kini tabel khusus hasil standarisasi penulisan nama dan alamat Wajib pajak akan ditambahkan pada basis data SIPMOD/SIDJP. Pedoman standarisasi penulisan nama dan alamat WP ini dilakukan berdasarkan nama dan alamat Wajib Pajak yang sudah terekam dalam basis data pajak dan juga terhadap perubahan data WP yang terjadi setelah tanggal 30 November 2010. Diharapkan, dengan standarisasi penulisan ini, akan memudahkan DJP dalam melakukan matching data dan intensifikasi pemungutan pajak. (Surat Edaran Dirjen Pajak No.SE-114/PJ./2010 tanggal 5 November 2010)

7. Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Baru yang terdaftar pada tahun berjalan atau satu tahun sebelumnya, meliputi WP OP domisili dan WP OP cabang, kepadanya akan dilakukan mapping potensi, monografi fiskal dan canvassing. Tujuannya tentu untuk menggali potensi penerimaan pajak. Dan demi mengamankan penerimaan pajak dari WP OP Baru, akan dilakukan juga dengan cara mengoptimalisasi kegiatan pengawasan terhadap WP OP Baru kategori Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (OPPT) dan memberikan pembinaan, edukasi, serta pelayanan perpajakan terhadap WP OP Baru (Surat Edaran Dirjen Pajak No.SE-113/PJ./2010 tanggal 5 November 2010)

8. Bagi WP yang terdaftar di KPP WP Besar Orang Pribadi, akan dilakukan pemeriksaan khusus. Pemeriksaan khusus ini berdasarkan analisis risiko terhadap profil WP yang dilakukan untuk menilai tingkat kepatuhan WP yang berisiko menimbulkan kerugian penerimaan pajak. Terutama pada WP dengan risiko tinggi yang dihitung dari potensi penerimaan pajak yang masih dapat digali.

Untuk menjamin kualitas pelaksanaannya,  sebelum diajukan usulan pemeriksaan khusus, analisis risiko yang dibuat Account Representative akan dilakukan pembahasan terlebih dahulu dengan tim Identifikasi dan analisis risiko. Kemudian pada saat pelaksanaan proses pemeriksaan khusus oleh Tim Pemeriksa Pajak, sebelum menyampaikan Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP) kepada Wajib Pajak, Tim Pemeriksa Pajak diwajibkan untuk melakukan pembahasan konsep Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) terkait yang menjadi dasar usulan dilakukan pemeriksaan khusus antara Tim Pemeriksa Pajak dan Tim Identifikasi dan Analisis Risiko.


Dengan demikian diharapkan dapat meningkatkan kualitas, efektifitas dan efisiensi pelaksanaan penegakan hukum bagi Wajib Pajak. (Surat Edaran Dirjen Pajak No.SE-120/PJ./2010 tanggal 18 November 2010 dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-16/PJ/2010).

(qom/qom)

sumber : www.detik.com
dengan perubahan seperlunya 

PPh untuk Perusahaan Jasa Konstruksi

Jakarta - Kami bergerak dibidang Jasa Konstruksi lengkap dengan surat SUIJK, SBU bidang Sipil dan Arsitektur, KLU bidang Konstruksi Gedung. Jasa Utama kami bergerak dibidang Konstruksi pemancangan Tiang Pancang. Pada suatu saat kami mengerjakan proyek pemancangan tiang pancang untuk pondasi Runway Gantry Crane milik PT ABC yang bergerak dibidang Shipyard.
 
Pada saat kami mengajukan Invoice dan dibayarkan oleh PT ABC, atas Invoice kami dipunggut PPh Psl 23, bukan PPh Final Psl 4 ayat 2 atas Jasa Konstruksi. Financial PT ABC mengatakan, kami bergerak di bidang Shipyard, kami tidak boleh memunggut PPh Final Psl 4 ayat 2 atas Jasa konstruksi. Apakah betul?

Jawaban:

Untuk menjawab pertanyaan Bapak, sebelumnya kami sampaikan bahwa Peraturan Pajak yang terkait dengan jasa konstruksi diatur dalam PP 51 Tahun 2008 yang diubah dengan PP 40 Tahun 2009. Sedangkan peraturan terkait dengan jenis jasa lain yang dipotong PPh 23 diatur dalam PMK 244/PMK.03/2008.

Sesuai dengan PP 51 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan dari Penghasilan Jasa Konstruksi dijelaskan bahwa definisi pekerjaan konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan dan/atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal, dan tata lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain. Dijelaskan juga dalam Pasal  3 bahwa penghasilan dari jasa konstruksi dikenakan PPh yang bersifat final dengan tarif:


  • 2% (dua persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha kecil;
  • 4% (empat persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha;
  • 3% (tiga persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa selain Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b;
  • 4% (empat persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha; dan
  • 6% (enam persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha.

PPh final tersebut wajib dipotong oleh Pengguna Jasa pada saat pembayaran, dalam hal Pengguna Jasa merupakan pemotong pajak; atau disetor sendiri oleh Penyedia Jasa, dalam hal pengguna jasa bukan merupakan pemotong pajak.
 
Yang termasuk dalam pemotong pajak PPh 4(2)-Final adalah badan Pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, bentuk usaha tetap, atau orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai pemotong Pajak Penghasilan.
 
Lebih lanjut, sesuai dengan PMK 244/PMK.03/2008 dijelaskan bahwa jasa perawatan/ perbaikan/ pemeliharaan mesin peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC, TV kabel, alat transportasi/kendaraan dan/atau bangunan dipotong PPh 23 apabila dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya bukan di bidang konstruksi dan tidak mempunyai ijin  dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi.
Dari peraturan-peraturan terkait tersebut dapat disimpulkan bahwa seharusnya Perusahan Bapak dipotong PPh 4(2)-Final oleh pengguna jasa.

Vera Handayani Sundoro, Tax Manager/PB Taxand Surabaya


(qom/qom)


sumber : www.detik.com 

Seputar Pajak CV

Jakarta - Pertanyaan:

1. Apakah pemilik CV bisa diberi gaji? Apakah atas gaji tersebut biaya diakui dalam SPT tahunan?
2. Apakah bisa mobil yg dibeli oleh CV dan digunakan oleh pemilik masuk sebagi aktiva tetap dan biaya depresiasi diakui dalam SPT?
3. Apakah prive atau laba yg dibagi harus dari laba ditahan setelah laporan tahunan atau bulanan? Dan bagaimana perlakuan PPh nya?


Jawaban:

Mengenai pembayaran gaji kepada anggota persekutuan, dalam Pasal 9 ayat (1) huruf j UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan diatur bahwa untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan dengan gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham. Berdasarkan ketentuan diatas, maka atas pembayaran gaji kepada pemilik CV tidak dapat menjadi biaya dalam penyusunan SPT Tahunan PPh Badan CV tersebut.

Adapun pembelian mobil untuk anggota persekutuan dapat mengacu pada Pasal 9 ayat (1) huruf b Undang-undang yang sama juga dimana diatur bahwa untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan dengan biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota.

Dengan demikian, biaya sehubungan dengan kepentingan pribadi anggota CV tidak dapat menjadi biaya dalam penyusunan SPT Tahunan PPh Badan CV tersebut.

Prive atau withdrawals (pengambilan uang) adalah pengambilan uang atau barang oleh pemilik pada perusahaan perseroan atau persekutuan. Pengambilan ini diperhitungkan pada akhir tahun sebagai pengurang dari pendapatan bersih pada periode tersebut. Dari definisi tersebut, dapat dikatakan bahwa pengambilan prive oleh anggota persekutuan dapat dilakukan tanpa batasan waktu pengambilan namun akan diperhitungan dengan bagian keuntungan yang akan diterimanya di akhir tahun. Apabila pengambilan prive melebihi bagian keuntungan yang diperoleh, maka anggota persekutuan diwajibkan untuk mengembalikan kelebihan tersebut kepada persekutuan.

Perlakuan PPh atas bagian keuntungan diatur dalam Pasal 4 ayat (3) huruf i UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan yang menyebutkan bahwa untuk kepentingan pengenaan pajak, badan yang berbentuk perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif yang merupakan himpunan para anggotanya dikenai pajak sebagai satu kesatuan, yaitu pada tingkat badan tersebut. Oleh karena itu, bagian laba yang diterima oleh para anggota badan tersebut bukan lagi merupakan objek pajak.

Martinus Jeffrey Hermansyah, Associate Manager PB Taxand

(qom/qom)

sumber : www.detik.com 

SPT Keliru, Tax Manager PT Asian Agri Terancam 6 Tahun Penjara

Jakarta - Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa tax manager PT Asian Agri, Suwir Laut telah membuat laporan yang keliru tentang SPT perusahaan sehingga negara merugi Rp 1,259 triliun. Suwir Laut terancam pidana penjara 6 tahun dan denda maksimal Rp 5 triliun.

"Terdakwa telah membuat laporan SPT yang keliru selama kurun 2002-2005 sehingga negara rugi sebesar Rp 1,259 triliun atau setidak- tidaknya berkisar diantara angka tersebut," kata JPU, Agus Prastowo di depan Ketua Majelis Hakim Martin Ponto di PN Jakpus, Jalan Gajah Mada, Jakarta, Rabu, (16/2/2011).

JPU menuduh terdakwa telah merekayasa laporan SPT sehingga melanggar UU Perpajakan. "Perbuatan terdakwa melanggar pasal 38 B dan 39 C UU No 16/2000 tentang Prosedur Pembayaran Perpajakan," tambahnya.

Menanggapi dakwaan ini, kuasa hukum terdakwa, M. Assegaf mengaku kebaratan dan akan mengajukan eksepsi. Menurutnya, hal yang dilakukan terdakwa seharusnya dikoreksi terlebih dahulu oleh petugas pajak. Lantas dilakukan penghitungan ulang.

"Tapi ini langsung dipidanakan. Tanpa pemberitahuan kesalahan penghitungan SPT terlebih dahulu," bela Assegaf.

Assegaf menjelaskan, kesalahan penghitungan SPT bisa menimpa siapa saja, baik perorangan maupun badan hukum. Kewajiban petugas pajak adalah meralat laporan tersebut.

"Ini kriminalisasi. Kalau laporan keliru, di revisi dulu. Jika seperti ini, orang jadi takut membuat laporan pajak," tandas Assegaf.

Menambahkan keterangan Assegaf, pengacara Yan Apul mengajukan permohonan berobat jalan atas diri terdakwa. Karena terdakwa menderita sakit batu empedu sesuai hasil pemeriksaan di RS Polri Kramatjati.

"Kalau sedang stress, terdakwa mengerang-erang kesakitan sehingga kami meminta supaya bisa berobat jalan," pinta Yan Apul.

Suwir Laut di tahan di Rutan Salemba sejak Selasa 21 Desember 2010. Adapun dua tersangka lainnya,  Eddy Lukas sebagai Corporate Affairs Director Asian Agri dan LR, berkasnya belum lengkap.

(asp/gun)

sumber : www.detik.com

Jumat, 11 Februari 2011

JENIS DAN MACAM PAJAK DI INDONESIA

Jenis Pajak

Secara umum, pajak yang berlaku di Indonesia dapat dibedakan menjadi Pajak Pusat dan Pajak Daerah. Pajak Pusat adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah Pusat yang dalam hal ini sebagian dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak - Departemen Keuangan. Sedangkan Pajak Daerah adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah Daerah baik di tingkat Propinsi maupun Kabupaten/Kota.

Pajak-pajak Pusat yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak meliputi :

1. Pajak Penghasilan (PPh)
PPh adalah pajak yang dikenakan kepada orang pribadi atau badan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu Tahun Pajak. Yang dimaksud dengan penghasilan adlah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang berasal baik dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat digunakan untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan dengan nama dan dalam bentuk apapun. Dengan demikian maka penghasilan itu dapat berupa keuntungan usaha, gaji, honorarium, hadiah, dan lain sebagainya.

2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
PPN adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean. Orang Pribadi, perusahaan, maupun pemerintah yang mengkonsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dikenakan PPN. Pada dasarnya, setiap barang dan jasa adalah Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang PPN. Tarif PPN adalah tunggal yaitu sebesar 10%. Dalam hal ekspor, tarif PPN adalah 0%. Yang dimaksud Dengan Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, peraian, dan ruang udara diatasnya.

3. Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM)
Selain dikenakan PPN, atas barang-barang kena pajak tertentu yang tergolong mewah, juga dikenakan PPn BM. Yang dimaksud dengan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah adalah :

a. Barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok; atau
b. Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu; atau
c. Pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi; atau
d. Barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status; atau
e. Apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat, serta mengganggu ketertiban masyarakat.

4. Bea Meterai
Bea Meterai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen, seperti surat perjanjian, akta notaris, serta kwitansi pembayaran, surat berharga, dan efek, yang memuat jumlah uang atau nominal diatas jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan.

5. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
PBB adalah pajak yang dikenakan atas kepemilikan atau pemanfaatan tanah dan atau bangunan. PBB merupakan Pajak Pusat namun demikian hampir seluruh realisasi penerimaan PBB diserahkan kepada Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota.

6. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Seperti halnya PBB, walaupun BPHTB dikelola oleh Pemerintah Pusat namun realisasi penerimaan BPHTB seluruhnya diserahkan kepada Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan.

Pajak-pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota antara lain meliputi :

1. Pajak Propinsi
a. Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air;
b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air;
c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bemotor;
d. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan.

2. Pajak Kabupaten/Kota
a. Pajak Hotel;
b. Pajak Restoran;
c. Pajak Hiburan;
d. Pajak Reklame;
e. Pajak Penerangan Jalan;
f. Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C;
g. Pajak Parkir.


sumber : pelayanan-pajak.blogspot.com

Kamis, 10 Februari 2011

Wajib Pajak dalam Tahap Investasi Bebas Pemotongan/Pemungutan PPh

 SIARAN PERS


Jakarta, 19 Januari 2010 – Bagi Wajib Pajak yang dalam tahun pajak berjalan dapat membuktikan tidak akan terutang Pajak Penghasilan karena mengalami kerugian fiksal, dalam hal Wajib Pajak tersebut baru berdiri dan masih dalam tahap investasi, dapat dibebaskan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain. Ketentuan ini tertuang dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor : PER-1/PJ/2011, yang mulai berlaku pada tanggal 1 Februari 2011.

Selain itu, dalam PerDirjen ini juga disebutkan juga 3 (tiga) kondisi Wajib Pajak yang dapat
mengajukan permohonan pembebasan pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain ke Ditjen Pajak, yaitu Wajib Pajak yang dalam tahun pajak berjalan dapat membuktikan tidak akan terutang Pajak Penghasilan karena :

a. Mengalami kerugian fiskal, karena Wajib Pajak belum sampai pada tahap produksi komersial atau Wajib Pajak mengalami suatu peristiwa yang berada di luar kemampuan (force majeur);

b. Berhak melakukan kompensasi kerugian fiskal, yaitu dengan memperhitungkan besarnya
kerugian tahun-tahun pajak sebelumnya yang masih dapat dikompensasikan yang tercantum
dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan atau surat ketetapan pajak;

c. Pajak Penghasilan yang telah dan akan dibayar lebih besar dari Pajak Penghasilan yang
akan terutang.

Peraturan Dirjen ini merupakan pelaksanaan Pasal 21 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor
94 Tahun 2010 tentang Perhitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan, yang baru saja diterbitkan oleh Pemerintah.

Selesai.



Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Humas


M. Iqbal Alamsjah
NIP 060060216


sumber : www.pajak.go.id

Kemenkeu dan BPK Tandatangani Nota Kesepahaman E-Audit

Jakarta, 10/02/2011 MoF (Fiscal) News Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menandatangani MoU (Nota Kesepahaman) tentang pengembangan dan pengelolaan sistem informasi untuk akses data dalam rangka pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara di Auditorium BPK pada kamis (10/2).

MoU tersebut ditandatangani oleh  Sekretaris Jenderal Kemenkeu Mulia P. Nasution dengan Sekretaris Jenderal BPK Hendar Ristriawan yang disaksikan oleh Menteri Keuangan dan Ketua BPK. Menteri Keuangan Agus D.W. Martowardojo dalam sambutannya menyebutkan bahwa Kemenkeu mendukung pemeriksaan secara online atau e-audit.  Kemenkeu sebagai auditee telah membangun sistem informasi di bidang keuangan untuk akses data yang makin baik dalam rangka meningkatkan opini BPK terhadap laporan keuangan negara. Hal senada juga disebutkan oleh ketua BPK Hadi Poernomo. E-audit dikembangkan untuk kebaikan bersama dalam mengelola negara. "banyak online, untuk pengelolaan keuangan negara yang transparan dan akuntabel" paparnya.

Selain dengan Kemenkeu, BPK juga melakukan penandatanganan nota kesepahaman dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP).
(as)

PEMBERITAHUAN TENTANG PELAYANAN BEBAS FISKAL LUAR NEGERI

PEMBERITAHUAN
NOMOR: PEM-03/PJ.09/2010
TENTANG
PELAYANAN BEBAS FISKAL LUAR NEGERI

Sehubungan dengan akan berakhirnya pengenaan Fiskal Luar Negeri bagi
Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri yang akan bertolak ke luar negeri
sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 25 ayat (8a) Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan, dengan ini diberitahukan hal-hal sebagai berikut:

1. Sejak tanggal 1 Januari 2011, Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri yang tidak
memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan telah berusia 21 (dua puluh satu)
tahun yang akan bertolak ke luar negeri tidak dikenakan kewajiban membayar
Fiskal Luar Negeri (FLN).

2. Ketentuan tanggal 1 Januari 2011 sebagaimana dimaksud pada angka 1 diatas,
berlaku sejak pukul 00.00 waktu setempat yang didasarkan pada jam yang tertera
di boarding pass untuk keberangkatan penerbangan ke luar negeri.

3. Informasi lebih lanjut dapat diperoleh melalui Kantor Pelayanan Pajak, Kantor
Wilayah Direktorat Jenderal Pajak terdekat atau Kring Pajak 500200.

Demikian disampaikan, agar masyarakat mengetahui dan memahaminya.

Jakarta, 27 Desember 2010
Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Humas
t.t.d
M. Iqbal Alamsjah
NIP 060060216

TATA CARA PENGEMBALIAN KELEBIHAN PAJAK DIREVISI

Menteri Keuangan merevisi peraturan tentang tata cara penghitungan dan pengembalian kelebihan pembayaran pajak melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 16/PMK.03/2011. Salinan PMK Nomor 16/PMK.03/2011 yang diperoleh di Jakarta, Selasa (8/2/2011), menyebutkan, peraturan itu akan mulai berlaku 30 hari sejak tanggal diundangkan. PMK itu diundangkan pada 24 Januari 2011.
Salah satu pertimbangan penerbitan PMK baru itu adalah untuk meningkatkan pelayanan kepada wajib pajak dan memberikan kepastian hukum dalam rangka penghitungan dan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang meliputi Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).

Peraturan baru ini mencabut dan menyatakan tidak berlaku dua PMK sebelumnya yaitu PMK Nomor 29/PMK.03/2005 tentang Tata Cara Pembayaran Kembali Kelebihan Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan, dan PMK Nomor 188/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak.

Pasal 2 PMK itu menetapkan kondisi kelebihan pembayaran PPh, PPN, dan/atau PPnBM yang dapat dikembalikan antara lain pajak yang lebih dibayar sebagaimana tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) UU tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Selain itu pajak yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Keberatan atau Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali oleh MA. Pajak yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Pembetulan, pajak yang lebih dibayar karena diterbitkannya Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi atau Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, dan pajak yang lebih dibayar karena diterbitkannya Surat Keputusan Pengurangan Surat Ketetapan Pajak atau Surat Pembatalan Surat Ketetapan Pajak.

Selain itu pajak yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Pengurangan Surat Tagihan Pajak atau Surat keputusan Pembatalan Surat Tagihan Pajak.

Sementara kelebihan pembayaran PBB dapat dikembalikan dalam hal antara lain terdapat PBB yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Kelebihan Pembayaran Pajak (SKPP) PBB, PBB yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Pembetulan PBB, PBB yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Pengurangan Denda Administrasi.

Pada ketentuan peralihan PMK itu disebutkan bahwa dengan berlakunya PMK itu, kelebihan pembayaran PPh, PPN dan atau PPnBM yang telah diperhitungkan dengan utang PBB dan belum diselesaikan sampai dengan berlakunya PMK ini, diselesaikan dengan cara kompensasi berdasarkan PMK ini.

Sumber : www.pajak.go.id

TAK LAPOR PAJAK PRIBADI, PEGAWAI TERKENA SANKSI

Kementerian Keuangan bakal mengenakan sanksi administratif berdasar Peraturan Pemerintah No.53 tentang Kepegawaian bagi para pegawai yang tidak melaporkan Laporan Pajak-Pajak Pribadi (LP2P).
Menurut Sekjen Kemenkeu Mulia P. Nasution hal tersebut merupakan kelanjutan dari program Menteri Keuangan sebelumnya Sri Mulyani untuk meningkatkan kedisiplinan pegawai. "Itu kan menindaklanjuti ketika dulu Bu Sri Mulyani menyampaikan beberapa langkah yang akan dilakukan di Kementerian Keuangan. Trigernya kan waktu itu kasus-kasus di bidang perpajakan tapi sekaligus menyangkut tidak hanya pejabat yang mengurus masalah pajak tapi itu pejabat di lingkungan Kementerian Keuangan tapi itu sebagai upaya kita untuk meningkatkan disiplin dan penegakan hukum di Kementerian Keuangan," ujarnya di kantor Kemenkeu, Jumat (4/2).

Ia mengungkapkan pada akhir Januari 2011 semua pejabat eselon I Kemenkeu telah menyerahkan nama-nama bawahannya yang wajib menyerahkan LHKPN. Sementara untuk LP2P wajib diserahkan oleh semua pegawai Kemenkeu layaknya wajib pajak. "Kalau pengisian dan penyampaian LHKPN itu kan sudah ada ketentuannya, tapi kalau LP2P ini kan karena pegawai Kemenkeu itu semuanya sudah membayar pajak dan mengisi spt tentunya semua wajib mengisi LP2P-nya. Semua staf Kemenkeu itu wajib untuk mengisi SPT karena mereka semua sudah menjadi wajib pajak, remunerasinya sudah," ujarnya.

Nantinya bila para pegawai tersebut tidak taat dalam menyerahkan LP2P, maka Kemenkeu akan mengenakan sanksi administratif berdasarkan PP 53 tentang kepegawaian. "Ooo ada dong (sanksinya) itu kan sesuai dengan PP 53 tentang disiplin pegawai tentu juga kalau misalnya itu sifatnya administratif misalnya pengisian dengan tidak benar itu berlaku ketentuan Undang-Undang. Kalau ada keanehan-keanehan itu bisa ditindaklanjuti. Kalau LHKPN berarti diterima KPK dan akan diperiksa (KPK)," pungkasnya.

Sumber: www.pajak.go.id

KEMANA UANG PAJAK YANG SUDAH KITA BAYAR ?

Tampaknya masih ada sebagian masyarakat yang belum
memahami bagaimana proses pengumpulan dan penggunaan uang
pajak. Sebagian masyarakat masih beranggapan bahwa
Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan bertanggung
jawab atas penggunaan uang pajak, padahal tidaklah
demikian.

Untuk itu, perlu dijelaskan secara singkat bagaimana
alur pengumpulan dan penggunaan uang pajak agar masyarakat
bisa lebih memahaminya, yaitu sebagai berikut :

1. Setiap Wajib Pajak membayar pajak di Bank atau Kantor
Pos (bukan di Kantor Pelayanan Pajak). Bukti pembayaran
pajak barulah dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP)
dimana Wajib Pajak terdaftar.

2. Seluruh uang pajak yang telah dibayar Wajib Pajak masuk
ke rekening Kas Negara, dan merupakan penerimaan negara
pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

3. Uang pajak yang terkumpul, melalui mekanisme APBN yang
disetujui DPR, kemudian dialokasikan ke seluruh
Kementerian/Lembaga untuk dipergunakan sesuai dengan
kegiatan/program kerja masing‐masing
Kementerian/Lembaga.
Kegiatan/program tersebut antara
lain digunakan untuk membangun berbagai macam fasilitas
publik, misalnya, untuk membangun jalan, membangun
sekolah, untuk puskesmas, untuk pertahanan, keamanan
dan sebagainya.

Demikian informasi ini disampaikan agar masyarakat
memahaminya.

Selasa, 08 Februari 2011

PPH Pasal 21 Tahun 2011 Untuk PNS, Anggota TNI, dan Anggota POLRI - PP No. 80 Tahun 2010

Akhirnya terbit juga Peraturan Pemerintah yang menggantikan PP Nomor 45 Tahun 1994 yang telah sekian lama mengatur pemotongan PPh Pasal 21 bagi PNS, anggota TNI dan Polri yang sumber dananya berasal dari APBN/D. Peraturan  Pemerintah yang dimaksud adalah PP Nomor 80 Tahun 2010 tentang Tarif Pemotongan dan Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 Atas Penghasilan Yang Menjadi Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Skema pengenaan PPh Pasal 21 berdasarkan PP 80 Tahun 2010 ini masih sama dengan PP 45 Tahun 1995 yaitu dikenal dua pengenaan PPh Pasal 21 : PPh Pasal 21 atas penghasilan tetap dan teratur yang ditanggung pemerintah, dan PPh Pasal 21 Final atas hororarium dan imbalan lain selain penghasilan tetap dan teratur.
PPh Pasal 21 Atas Penghasilan Tetap dan Teratur
PPh Pasal 21 atas penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang menjadi beban APBN/D  ditanggung pemerintah atas beban APBN/D. Adapun penerima penghasilannya adalah pejabat negara, PNS, Anggota TNI, anggota Polri dan pensiunan yang menerima penghasilan berupa gaji, uang pensiunan dan tunjangan lain yang sifanya tetap dan teratur setiap bulan yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Besarnya PPh Pasal 21 terutang adalah sama dengan penghitungan PPh Pasal 21 untuk pegawai tetap atau penerima uang pensiun bulanan, yaitu menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh terhadap penghasilan bruto setelah dikurangi dengan biaya jabatan atau biaya pensiun, iuran pensiun, dan PTKP.
Bagi Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota Polri dan pensiunannya yang tidak memiliki NPWP, maka PPh Pasal 21 terutang dihitung dengan mengenakan tarif 20% lebih tinggi. Adapaun PPh Pasal 21 tambahan 20% tersebut tidak ditanggung pemerintah tetapi dipotong dari penghasilan Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI dan Anggota Polri pada bulan dibayarkannya gaji, uang pensiunan dan tunjangan lain.
Bila dibandingkan dengan PP 45 Tahun 1994, perbedaan terletak pada definisi jenis penghasilannya. Pada PP 45 Tahun 1994, PPh Pasal 21 yang ditanggung pemerintah adalah gaji atau uang pensiunan dan tunjangan-tunjangan lain yang sifatnya tetap dan terkait dengan gaji. Frasa “terkait dengan gaji” diganti dengan kata “teratur setiap bulan”. Sedangkan sumber penghasilan dan penerima penghasilannya sama saja.
Perbedaan lainnya adalah penegasan tarif 20% lebih tinggi bagi penerima penghasilan yang tidak berNPWP dan dipotong dari penghasilan tiap bulannya.

PPh Pasal 21 Atas Honorarium dan Imbalan Lainnya
Atas penghasilan lainnya (selain gaji atau uang pensiunan dan tunjangan lain yang tetap dan teratur) berupa honorarium dan imbalan lainnya yang bersumber dari APBN atau APBD dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 yang bersifat final dan harus dipotong oleh Bendahara Pemerintah.
Adapun besarnya tarif yang dikenakan adalah sebagai berikut :
  • 0% dari jumlah bruto bagi PNS Golongan I dan II, Anggota TNI dan Anggota Polri berpangkat Tamtama dan Bintara, dan pensiunannya.
  • 5% dari jumlah bruto bagi PNS Golongan III, Anggota TNI dan Anggota Polri berpangkat Perwira Pertama, dan pensiunannya.
  • 15% dari jumlah bruto bagi PNS Golongan IV, Anggota TNI dan Anggota Polri berpangkat Perwira Menengah dan Perwira Tinggi, dan pensiunannya.
Perhatikan perbedaan dengan ketentuan dalam PP 45 Tahun 1994 yang mengenakan tarif 15% bagi PNS Golongan III dan IV sementara Golongan I dan II tidak dipotong. Jadi, bagi Golongan I dan II tetap tidak terkena PPh Pasal 21, bagi Golongan IV tetap terkena 15% sedangkan bagi Golongan III mengalami penurunan tarif dari 15% menjadi 5%. Perubahan ini juga berlaku bagi anggota TNI dan Polri dalam level pangkat yang sama.
Pelaporan SPT Tahunan
Apabila PNS, Anggota TNI, Anggota Polri dan Pensiunannya mendapatkan penghasilan lain selain yang bersumber dari APBN atau APBD, maka penghasilan tersebut, sepanjang tidak dikenakan PPh Final, digabung atau digunggungkan dengan penghasilan tetap dan teratur berupa gaji dan tunjangan lain yang bersumber dari APBN atau APBD dalam SPT Tahunan.
PPh Pasal 21 yang ditanggung pemerintah atas penghasilan tetap dan teratur serta tambahan PPh Pasal 21 yang dikenakan tarif 20% lebih tinggi, dapat dikreditkan dalam SPT Tahunan.
Peraturan Pelaksanaan
Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2010 ini memberikan wewenang kepada Menteri Keuangan untuk menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur tentang tata cara pemotongan PPh Pasal 21 bagi Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI dan Anggota Polri serta pensiunannya atas penghasilan yang menjadi beban APBN atau APBD.
Saat Berlaku
Ketentuan baru berdasarkan PP Nomor 80 Tahun 2010 ini mulai berlaku 1 Januari 2011. Mudah-mudahan ketentuan pelaksanaannya segera terbit agar Bendahara Pemerintah sudah punya pegangan dalam pelaksanaan PP ini.

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER – 2/PJ/2011

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR PER – 2/PJ/2011


TENTANG

TATA CARA PENERIMAAN DAN PENGOLAHAN
SURAT PEMBERITAHUAN MASA PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (SPT MASA PPN
)

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

  1. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 5 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 185/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Penerimaan dan Pengolahan Surat Pemberitahuan;
  2. bahwa untuk memperlancar pelaksanaan tugas penerimaan dan pengolahan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai sehubungan dengan adanya perubahan dan penyempurnaan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai beserta Lampirannya;
  3. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Tata Cara Penerimaan dan Pengolahan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN);

Mengingat :

  1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
  2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5069);
  3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 185/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Penerimaan dan Pengolahan Surat Pemberitahuan;
  4. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-147/PJ/2006 tentang Bentuk, Isi, dan Tata Cara Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN) Bagi Pemungut PPN;
  5. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-44/PJ/2010 tentang Bentuk, Isi, dan Tata Cara Pengisian serta Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN);
  6. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-45/PJ/2010 tentang Bentuk, Isi, dan Tata Cara Pengisian serta Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN) Bagi Pengusaha Kena Pajak Yang Menggunakan Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG TATA CARA PENERIMAAN DAN PENGOLAHAN SURAT PEMBERITAHUAN MASA PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (SPT MASA PPN).


Pasal 1

Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang dimaksud dengan:
  1. Kantor Pelayanan Pajak yang selanjutnya disebut dengan KPP adalah Kantor Pelayanan Pajak tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan atau tempat Pemungut Pajak Pertambahan Nilai terdaftar.
  2. Kantor Pelayanan, Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan, yang selanjutnya disebut dengan KP2KP adalah Kantor Pelayanan, Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan yang berada dalam wilayah KPP.
  3. Pengusaha Kena Pajak yang selanjutnya disebut dengan PKP adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN Tahun 1984 dan perubahannya.
  4. Pemungut Pajak Pertambahan Nilai yang selanjutnya disebut dengan Pemungut PPN adalah bendahara pemerintah, badan, atau instansi pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk memungut, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada bendahara pemerintah, badan, atau instansi pemerintah tersebut.
  5. Surat Pemberitahuan yang selanjutnya disebut dengan SPT adalah:
    a. bagi PKP yang melaporkan tidak lebih dari 25 (dua puluh lima) dokumen (Faktur Pajak/dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak dan/atau Nota Retur/Nota Pembatalan) pada setiap Lampiran SPT dalam 1 (satu) Masa Pajak adalah SPT Masa PPN dalam bentuk formulir kertas (hard copy) atau dalam bentuk data elektronik;
    b bagi PKP yang melaporkan lebih dari 25 (dua puluh lima) dokumen (Faktur Pajak/dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak dan/atau Nota Retur/Nota Pembatalan) pada salah satu Lampiran SPT dalam 1 (satu) Masa Pajak adalah SPT Masa PPN dalam bentuk data elektronik;
    c bagi Pemungut PPN adalah SPT Masa PPN dalam bentuk formulir kertas (hard copy) atau dalam bentuk data elektronik.
  6. Lampiran SPT:
    a. bagi PKP yang tidak menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan pajak masukan adalah Formulir 1111 AB, Formulir 1111 A1, Formulir 1111 A2, Formulir 1111 B1, Formulir 1111 B2, dan Formulir 1111 B3;
    b bagi PKP yang menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan pajak masukan adalah Formulir 1111 A DM dan Formulir 1111 R DM;
    c bagi Pemungut PPN adalah Lampiran 1 SPT dan Lampiran 2 SPT.
  7. SPT Lengkap adalah SPT yang semua elemen SPT Induk dan semua Lampiran yang dipersyaratkan telah diisi dan disampaikan dengan lengkap serta ditandatangani oleh Wajib Pajak atau kuasanya.
  8. Tempat Pelayanan Terpadu yang selanjutnya disebut dengan TPT adalah tempat pelayanan perpajakan terintegrasi pada KPP dengan menggunakan sistem komputer untuk meningkatkan pelayanan kepada PKP.
  9. e-SPT adalah aplikasi pengisian SPT yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
  10. Data elektronik adalah data SPT Masa PPN yang dihasilkan dari e-SPT.
  11. Media elektronik adalah sarana penyimpanan data elektronik yang dapat digunakan untuk memindahkan data dari suatu komputer ke komputer lainnya, antara lain flash disk dan Compact Disc (CD).
  12. Penyedia Jasa Aplikasi (Application Service Provider) yang selanjutnya disebut dengan ASP adalah perusahaan yang telah ditunjuk dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak sebagai perusahaan yang dapat menyalurkan penyampaian SPT Masa PPN secara elektronik ke Direktorat Jenderal Pajak.
  13. e-Filing adalah suatu cara penyampaian SPT yang dilakukan secara on-line yang real time melalui laman Direktorat Jenderal Pajak (www.pajak.go.id) atau ASP.
  14. Tanda Terima SPT adalah Bukti Penerimaan Surat yang selanjutnya disebut dengan BPS, yang dihasilkan dari menu penerimaan SPT untuk disampaikan kepada PKP atau Pemungut PPN.
  15. Penelitian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan pengisian SPT Masa PPN dan lampiran-lampirannya termasuk penilaian tentang kebenaran penulisan dan penghitungannya.
  16. Pengujian data adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kebenaran pengisian data elektronik Induk SPT Masa PPN dan Lampiran SPT Masa PPN.
  17. Perekaman SPT adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk memasukkan semua unsur SPT ke dalam basis data perpajakan dengan cara antara lain merekam, uploading, dan/atau memindai (scanning).
  18. Loading adalah kegiatan memindahkan data/informasi digital dari media digital atau jaringan komunikasi data ke sistem informasi Direktorat Jenderal Pajak.
  19. Pengolahan SPT adalah serangkaian kegiatan yang meliputi penelitian, pengujian data, validasi, dan perekaman/loading SPT.

Pasal 2

(1) PKP atau Pemungut PPN menyampaikan SPT dengan kelengkapan sebagai berikut:
  1. Bagi PKP yang tidak menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan pajak masukan, SPT terdiri dari:
    1) Induk SPT Masa PPN 1111 - Formulir 1111 (F.1.2.32.04);
    2) Formulir 1111 AB - Rekapitulasi Penyerahan dan Perolehan (D.1.2.32.07);
    3) Formulir 1111 A1 - Daftar Ekspor BKP Berwujud, BKP Tidak Berwujud dan/atau JKP (D.1.2.32.08);
    4) Formulir 1111 A2 - Daftar Pajak Keluaran atas Penyerahan Dalam Negeri dengan Faktur Pajak (D.1.2.32.09);
    5) Formulir 1111 B1 - Daftar Pajak Masukan yang Dapat Dikreditkan atas Impor BKP dan Pemanfaatan BKP Tidak Berwujud/JKP dari Luar Daerah Pabean (D.1.2.32.10);
    6) Formulir 1111 B2 - Daftar Pajak Masukan yang Dapat Dikreditkan atas Perolehan BKP/JKP Dalam Negeri (D.1.2.32.11); dan
    7) Formulir 1111 B3 - Daftar Pajak Masukan yang Tidak Dapat Dikreditkan atau yang Mendapat Fasilitas (D.1.2.32.12).
  2. Bagi PKP yang menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan pajak masukan, SPT terdiri dari:
    1) Induk SPT Masa PPN 1111 DM - Formulir 1111 DM (F.1.2.32.05);
    2) Formulir 1111 A DM - Daftar Pajak Keluaran atas Penyerahan Dalam Negeri Dengan Faktur Pajak (D.1.2.32.13); dan
    3) Formulir 1111 R DM - Daftar Pengembalian BKP dan Pembatalan JKP oleh PKP yang Menggunakan Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan (D.1.2.32.14).
  3. Bagi Pemungut PPN, SPT terdiri dari:
    1) Induk SPT - Formulir 1107 PUT (F.1.2.32.02);
    2) Lampiran 1 Daftar PPN dan PPnBM Yang Dipungut Oleh Bendaharawan Pemerintah - Formulir 1107 PUT 1 (D.1.2.32.03); dan
    3) Lampiran 2 Daftar PPN dan PPnBM Yang Dipungut Oleh Selain Bendaharawan Pemerintah - Formulir 1107 PUT 2 (D.1.2.32.04)
(2) SPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
  1. huruf a atau huruf b wajib diisi oleh setiap PKP;
  2. huruf c wajib diisi oleh setiap Pemungut PPN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
(3) SPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilampiri dengan lampiran-lampiran lainnya yang dipersyaratkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.


Pasal 3

(1) SPT dapat berbentuk:
  1. formulir kertas (hard copy); atau
  2. data elektronik, yang disampaikan:
    1) dalam media elektronik; atau
    2) melalui e-Filing.
(2) SPT dapat disampaikan oleh PKP atau Pemungut PPN dengan cara manual, yaitu:
  1. disampaikan langsung ke KPP atau KP2KP; atau
  2. disampaikan melalui pos, perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir, dengan bukti pengiriman surat, ke KPP atau KP2KP.
(3) Dalam hal SPT disampaikan dalam bentuk media elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 1), PKP atau Pemungut PPN harus menggunakan e-SPT dan Induk SPT tetap disampaikan dalam bentuk formulir kertas (hard copy).
(4) SPT dalam bentuk data elektronik dapat disampaikan oleh PKP melalui e-Filing, yang tata cara penyampaiannya diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
(5) Penyampaian SPT dengan cara manual sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah penyampaian SPT yang Induk SPT-nya disampaikan dalam bentuk formulir kertas (hard copy), sedangkan Lampiran SPT dapat disampaikan dalam bentuk formulir kertas (hard copy) atau dalam bentuk media elektronik.


Pasal 4

SPT dianggap tidak lengkap apabila:
  1. Nama dan/atau NPWP tidak dicantumkan dalam SPT;
  2. Elemen-elemen Induk SPT dan Lampiran SPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 tidak atau kurang lengkap diisi;
  3. Induk SPT tidak ditandatangani oleh PKP atau Pemungut PPN;
  4. Induk SPT ditandatangani oleh Kuasa PKP atau Kuasa Pemungut PPN, tetapi tidak dilampiri Surat Kuasa Khusus;
  5. SPT Kurang Bayar tetapi tidak dilampiri Surat Setoran Pajak/bukti Pbk;
  6. SPT yang Lampiran SPT dan lampiran-lampiran lainnya yang dipersyaratkan tidak disampaikan, kecuali tidak ada data yang dilaporkan dalam Lampiran SPT tersebut;
  7. SPT disampaikan dalam bentuk kertas (hardcopy) oleh PKP yang wajib menyampaikan SPT dalam bentuk media elektronik (e-SPT) sesuai peraturan perundangan-undangan perpajakan.
  8. Dalam hal SPT disampaikan dalam bentuk media elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b angka 1) berdasarkan pengujian data, diketahui:
    a. induk SPT hasil cetakan yang disampaikan oleh PKP atau Pemungut PPN tanpa disertai Lampiran SPT dalam bentuk media elektronik;
    b. induk SPT hasil cetakan yang disampaikan oleh PKP atau Pemungut PPN tidak sesuai dengan Induk SPT yang ada dalam bentuk media elektronik;
    c. elemen-elemen data elektronik dalam bentuk media elektronik yang disampaikan oleh PKP atau Pemungut PPN tidak diisi atau diisi tidak lengkap;
    d. data elektronik dalam bentuk media elektronik yang disampaikan oleh PKP atau Pemungut PPN tidak dapat diproses pada sistem informasi Direktorat Jenderal Pajak.

Pasal 5

(1) Terhadap SPT Lengkap yang disampaikan secara langsung diberikan tanda bukti penerimaan SPT setelah dilakukan proses penelitian dan/atau pengujian data.
(2) Terhadap SPT yang disampaikan secara tidak langsung melalui pos/perusahaan jasa ekspedisi/jasa kurir dengan tanda bukti pengiriman surat, tanda bukti pengiriman surat dianggap sebagai tanda bukti penerimaan SPT dan tanggal penerimaan SPT.
(3) Dalam hal pengujian data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 8 belum dapat dilakukan karena sarana komputer tidak berfungsi atau tempat penerimaan SPT belum dilengkapi dengan sarana pengujian data (SPT loader), terhadap SPT tersebut yang disampaikan secara langsung oleh PKP atau Pemungut PPN diberikan tanda bukti penerimaan SPT.
(4) Tanda bukti penerimaan SPT sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dianggap sah, apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal tanda bukti penerimaan SPT, KPP atau KP2KP tidak menerbitkan Surat Penolakan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran IV Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.


Pasal 6

KPP atau KP2KP yang bersangkutan wajib menolak:
  1. SPT Tidak Lengkap yang disampaikan oleh PKP atau Pemungut PPN dengan cara manual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2); dan/atau
  2. SPT yang disampaikan oleh PKP atau Pemungut PPN tetapi tidak sesuai dengan SPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.

Pasal 7

(1) Tata cara penerimaan dan pengolahan SPT pada KPP dan KP2KP adalah sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I dan Lampiran II Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(2) Tata cara penerimaan dan pengolahan SPT yang disampaikan melalui e-Filing mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
(3) Tata cara penelitian SPT adalah sebagaimana dimaksud dalam Lampiran III Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.


Pasal 8

Pada saat Peraturan Direktur Jenderal ini berlaku maka Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-160/PJ/2006 tentang tata cara penerimaan dan pengolahan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN) tetap berlaku, sepanjang digunakan untuk pelaporan SPT Masa PPN sampai dengan Masa Pajak Desember 2010.


Pasal 9

Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan diberlakukan untuk penerimaan dan pengolahan SPT Masa PPN mulai Masa Pajak Januari 2011.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.



Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 11 Januari 2011
DIREKTUR JENDERAL PAJAK

ttd.

MOCHAMAD TJIPTARDJO
NIP 195104281975121002