Direktorat Jenderal Pajak (DJP) disarankan untuk mengevaluasi kolektibilitas data tunggakan pajak yang ada saat ini guna mengoptimalkan upaya pencairan piutang pajak.
Pengamat Perpajakan dari UI, Gunadi mengatakan jika tunggakan pajak tidak berkualitas maka perbaikan apapun yang dilakukan tidak akan berpengaruh signifikan terhadap pencairan tunggakan.
"Untuk itu agar tagihan berkualitas maka proses keberatan dan pembetulan harus dilakukan dengan baik," katanya hari ini.
Hasil audit BPK terhadap kinerja Ditjen Pajak menemukan piutang pajak belum tertagih senilai Rp7,62 triliun yang berisiko macet. Selain itu realisasi pencairan piutang pajak pada 2005-2008 juga turun meski secara keseluruhan membaik karena tingkat pencairannya di atas 80% dari target yang ditetapkan.
BPK menilai Ditjen Pajak tidak optimal dalam menjalankan kegiatan penagihan pajak. BPK masih menemukan sejumlah kelemahan dari aspek strategi, sistem administrasi, SDM hingga aspek pengawasan dalam penagihan piutang pajak.
"Opini pemeriksaan BPK sudah berdasarkan fakta dan data nyata di lapangan. Itu masukan perbaikan action Ditjen Pajak sehingga penagihan efektif untuk mendukung pengamanan penerimaan," katanya.
Selain evaluasi kolektibilitas tunggakan pajak, Gunadi juga mengusulkan diterapkannya strategi diskon kepada wajib pajak (WP) yang dinilai mempunyai itikad baik.
"Kepada WP yang beritikad baik dapat diberikan potongan sanksi administrasi misalnya denda dan bunga sehingga ringan membayar. Tentu saja dari sisi perpajakan akan mengurangi tunggakan."
Dia menilai proses pembetulan kesalahan dan pembatalan surat ketetapan pajak (SKP) yang salah, harus dipercepat. "Selanjutnya penagihan dengan sita rekening bank juga harus diefektifkan," tegasnya.
Jumat, 22 Oktober 2010
Rabu, 13 Oktober 2010
Manfaat S.O.P (Standard Operating Procedure)
- Adanya Standard dan prosedur yang Jelas, Perusahaan memiliki standard operasional yang baku. Dengan adanya prosedur yang jelas dan baku akan lebih lancar aktivitas karyawan semua bagian karena setiap karyawan menjalankan fungsinya masing-masing dan mengetahui dengan jelas apa yang menjadi tanggungjawabnya.
- Dokumen yang digunakan sudah Standard, sehingga memudahkan setiap karyawan untuk mengingatnya. Terutama bila perusahaan tersebut besar dan memiliki banyak anak perusahaan kemungkinan seorang karyawan yang dimutasi akan mudah untuk beradaptasi.
- Memudahkan dalam mengontrol sistem ataupun mengetahui jika terjadi kebocoran di perusahaan ataupun untuk menganalisa titik lemah dari perusahaan untuk menjadi bahan koreksi kembali.
- Administrasi perusahaan yang lebih rapih.
- Langkah kedepannya akan mempermudah perusahaan dalam memperoleh ISO (International Organization for Standarization)
Konsultasi Kredit
Untuk Anda yang ingin mendapatkan fasilitas KREDIT TANPA AGUNAN (KTA) atau PINJAMAN TANPA JAMINAN dari PERBANKAN (Resmi), disini tempatnya Anda dapat berkonsultasi gratis dengan kami bagaimana strategi / trik / cara yang pasti agar pengajuan KREDIT TANPA AGUNAN (KTA) atau PINJAMAN TANPA JAMINAN Anda dapat disetujui oleh Pihak Perbankan (Khusus JABODETABEK)
Sampaikan rencana pengajuan permohonan KREDIT TANPA AGUNAN (KTA) atau PINJAMAN TANPA JAMINAN Anda dan persyaratan apa saja yang saat ini Anda dapat penuhi / miliki
Sampaikan rencana pengajuan permohonan KREDIT TANPA AGUNAN (KTA) atau PINJAMAN TANPA JAMINAN Anda dan persyaratan apa saja yang saat ini Anda dapat penuhi / miliki
PENYELESAIAN SENGKETA KREDIT PERBANKAN MELALUI LEMBAGA ARBITRASE
Pemberian kredit dalam praktek tidak selalu berjalan lancar faktor penyebab tidak berjalannya kredit secara sempuma karena faktor intern yaitu karakter debitur, faktor usaha debitur serta faktor ekstem yaitu faktor alam sehingga akibatnya debitur tidak dapat melunasi kreditnya sedangkan bank sebagai kreditur berdasarkan aturan perbankan kredit yang tidak terbayar sesuai dengan peraturan SK Direktur BI No 31/KEP/DIR tanggal 12 Nopember 1998 termasuk dalam kategori kredit bermasalah hingga timbullah sengketa kredit. Bentuk sengketa yang terjadi antara Debitur dan Bank dikategorikan dalam 10 bentuk sengketa yaitu sengketa jumlah utang, sengketa jaminan, sengketa tentang pelaksanaan klausula, sengketa perizinan, sengketa tentang perubahan mendasar, sengketa kelalaian terhadap perjanjian lain, sengketa kasus hukum, sengketa pemyataan pailit, sengketa keterlambatan pelaksanaan perjanjian, sengketa Silang. Prosedur penyelesaian sengketa yang dipilih Bank mula-mula dengan menyelesaikan secara intern bank, bila upaya tersebut tidak membawa hasil bank akan membawa kasusnya ke Pengadilan Negeri ataupun Lembaga Arbitrase sepanjang di dalam klausul bank menetapkan penyelesaian melalui Lembaga Arbitrase. Secara teroritis tujuan didirikannya Lembaga Arbitrase sebagai Lembaga penyelesai sengketa swasta yang sesuai dengan prinsip perdagangan yang cepat, murah, mudah, tertutup serta ahli di bidangnya namun di dalam bank menyelesaikan sengketa kredit perbankan Arbitrase di dalam praktek pelaksanaan belum banyak sengketa kredit perbankan yang diselesaikan lembaga Arbitrase. Kendala yang terjadi pihak perbankan belum memahami seutuhnya bentuk penyelesaian sengketa lewat Arbitrase, di samping Lembaga Arbitrase sebagai Lembaga Peradilan Swasta yang mendanai proses persidangan dan personalnya hingga mengakibatkan biaya tinggi, serta tisdak berperannya Arbitrase sebagai Lembaga Eksekutor.
Selasa, 12 Oktober 2010
Menyadarkan pengemplang Pajak, Penduduk Miskin Bisa Berkurang Meialui Pemanfaatan Pajak
Ketika pergantian Dirjen Pajak dilakukan dari Darmin Nasution kepada M. Tjiptardjo, pertanyaan pertama yang timbul dari berbagai kalangan adalah bagaimana kelanjutan dugaan kasus Asian Agri yang sedang disidik Ditjen Pajak. Tjiptardjo yang pernah menjabat Direktur Intelijen dan Penyidikan tentu saja amat memahami keinginan masyarakat agar kasus Asian Agri segera diselesaikan setelah bekerja sama dengan pihak Kejaksaan.
Sejak beberapa tahun terakhir, kasus-kasus tindak pidana di bidang perpajakan sebenarnya cukup banyak. Perhatian masyarakat yang sangat besar kepada Asian Agri tentu wajar karena besarnya dugaan kerugian negara senilai Rpl,3 triliun. Kita semua mengharapkan kasus ini bisa segera diselesaikan.
Saat negara membutuhkan pajak untuk melanjutkan pembangunan, kesadaran dan kepatuhan seluruh masyarakat untuk membayar pajak tampaknya sudah harus segera diwujudkan. Siapa pun tentu tidak ingin dikatakan sebagai penumpang gelap [free rider) karena tidak mau bayar pajak. Begitu juga, orang tidak mau dikatakan sebagai pengemplang pajak karena membayar pajak tidak benar.
Membayar pajak bagi seseorang adalah satu beban yang tidak bisa dihindari. Sejarah mencatat tidak ada satu orang pun yang rela membayar pajak. Na-mun, membayar pajak adalah satu keharusan/kewajiban yang melekat pada setiap orang yang sudah berpenghasilan. Bahkan untuk jenis pajak pertambahan nilai (PPN), akan terkena pada setiap orang sekalipun tidak berpenghasilan.
Kalau pajak tidak bisa dihindarkan lagi dalam kehidupan setiap orang, masyarakat harus menyikapinya dengan benar. Hindarkan cara berpikir untuk menghindari pajak atau mengemplang pajak. Bisa dikatakan bahwa para pengemplang pajak adalah kelompok orang yang tidak mencintai negeri ini. Bahkan pengemplang pajak bisa disebut telah menggagalkan upaya negara untuk menyejahterakan rakyat.
Sebagai gambaran, penduduk miskin masih cukup banyak di negeri ini. Tahun 2000 misalnya ada sebanyak 38,7 juta dan pada 2005 turun menjadi 35,10 juta. Namun, pada 2006 terjadi kenaikan jumlah penduduk miskin menjadi 39,30 juta. Lalu pada Maret 2007, masih sekitar 37,17 juta.
Tahun 2009 ini, penduduk miskin masih berada pada angka 34 juta. Artinya, dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia sebanyak kurang lebih 230 juta, sekitar 14,78% nya adalah jumlah penduduk miskin. Lalu pertanyaannya, apa hubungannya penduduk miskin dengan pengemplang pajak?
Pajak adalah salah satu sumber penerimaan negara, dan itu telah menjadi kesepakatan bersa ma. Bahkan pajak saat ini menjadi satu-satunya sumber penerimaan terbesar pembangunan bangsa, untuk kesejahteraan, bangsa. Seandainya negeri ini tidak ada pengemplang pajak, secara tidak langsung mau tidak mau kesejahteraan masyarakat miskin akan meningkat, atau jumlah penduduk miskin akanberkurang.
Sekarang ini belum ada instrumen lain selain pajak yang bisa menjadikan penduduk miskin berkurang. Bahkan Pasal 34 Ayat (1) UUD 45 secara tegas menye-. butkan bahwa negara wajib melindungi fakir miskin dan orang telantar. Nah, untuk melindungifakir miskin dan anak telantar supaya mereka bisa hidup lebih baik, mereka harus sekolah serta mendapat makan atau pekerjaan yang baik.
Secara sadar sebenarnya para pengemplang pajak sudah menggerogoti atau menggagalkan upaya negara untuk menyejahterakan rakyat. Bahkan secara ekstrem, pengemplang pajak punya andil dalam memiskinkan masyarakat. Penambahan jumlah penduduk miskin juga bisa dikatakan seakan diciptakan oleh pengemplang pajak. Kalau begitu, para pengemplang pajak harus disadarkan.
Dalam konteks hidup bermasyarakat, pengemplang pajak se-benarnya tidak layak untuk tinggal bersama. Mereka bisa digolongkan penduduk gelap yang hanya ingin menikmati fasilitas umum negara, tetapi tidak mau turut berkontribusi dalam membayar pajak.
Pengemplang pajak harus menyadari bahwa penghasilan yangdiperolehnya bisa terwujud karena adanya fasilitas umum yang disediakan negara. Jika tidak demikian, setiap orang tidak akan mampu menyediakan fasilitas umum untuk kebutuhan atau keperluannya sendiri-sendiri
Kesadaran dan kepatuhan sudah saatnya ter-intemalized dalam diri setiap orang (wajib pajak). Bila itu terjadi, keyakinan terhapusnya kemiskinan di negeri ini pasti terjadi. Instrumen pajak menjadi hal sangat penting untuk disadari. Pengemplang pajak yang terus-menerus melakukan pembayaran pajak tidak benar, harus ditindak bila benar terbukti bersalah.
Tindakan hukum berupa pemeriksaan, penyidikan, dan penyanderaan merupakan instrumen lain dari hukum pajak yang bisa digunakan untuk menindak pengemplang pajak.
Undang-Undang pajak memberikan kesempatan bagi Wajib pajak untuk memperbaiki laporan SPT (surat pemberitahuan tahunan) yang tidak benar. Jika masa perbaikan SPT ndak digunakan, adalah wajar jika negara menuntut mereka untuk mematuhi UU pajak. Masa pengampunan pajak yang dikenal dengan nama sunset policy yang berakhir tahun 2008 lalu, menjadi poin untuk melakukan kajian lebih lanjut. Pengemplang pajak hams bersiap-siap jika penegakan hukum (law enforcement) segera berjalan untuk itu. Mencari dan menyadarkan pengemplang pajak menjadi poin khusus bagi jajaran pegawai Ditjen Pajak untuk menindak para pengemplang pajak.
Tindakan keras
Sadar dan peduli pajak tentu menjadi jauh lebih penting. Jika tidak bisa, tindakan keras tentu saja harus slap untuk diterima seperti kasus Asian Agri di atas.
Saat Darmin Nasution menyampaikan penerimaan negara semester 1 tahun 2009 yang baru mencapai 34% dari rencana, maka kini giliran M. Tjiptardjo meneruskan kebijakan Darmin yang sebelumnya tergolong sukses. Harapan besar masyarakat tertumpu pada pundak Dirjen Pajak M. Tjiptardjo.
Tidak ada kata lain, semua masyarakat hendaknya mendukung tugas penerimaan pajak ini dengan menyadarkan para pengemplang pajak agar negara yang kita cintai dapat terus berlangsung. Lebih dari itu, penduduk miskin bisa berkurang melalui pemanfaatan pajak oleh berbagai institusi lain
Sumber : Bisnis Indonesia
Sejak beberapa tahun terakhir, kasus-kasus tindak pidana di bidang perpajakan sebenarnya cukup banyak. Perhatian masyarakat yang sangat besar kepada Asian Agri tentu wajar karena besarnya dugaan kerugian negara senilai Rpl,3 triliun. Kita semua mengharapkan kasus ini bisa segera diselesaikan.
Saat negara membutuhkan pajak untuk melanjutkan pembangunan, kesadaran dan kepatuhan seluruh masyarakat untuk membayar pajak tampaknya sudah harus segera diwujudkan. Siapa pun tentu tidak ingin dikatakan sebagai penumpang gelap [free rider) karena tidak mau bayar pajak. Begitu juga, orang tidak mau dikatakan sebagai pengemplang pajak karena membayar pajak tidak benar.
Membayar pajak bagi seseorang adalah satu beban yang tidak bisa dihindari. Sejarah mencatat tidak ada satu orang pun yang rela membayar pajak. Na-mun, membayar pajak adalah satu keharusan/kewajiban yang melekat pada setiap orang yang sudah berpenghasilan. Bahkan untuk jenis pajak pertambahan nilai (PPN), akan terkena pada setiap orang sekalipun tidak berpenghasilan.
Kalau pajak tidak bisa dihindarkan lagi dalam kehidupan setiap orang, masyarakat harus menyikapinya dengan benar. Hindarkan cara berpikir untuk menghindari pajak atau mengemplang pajak. Bisa dikatakan bahwa para pengemplang pajak adalah kelompok orang yang tidak mencintai negeri ini. Bahkan pengemplang pajak bisa disebut telah menggagalkan upaya negara untuk menyejahterakan rakyat.
Sebagai gambaran, penduduk miskin masih cukup banyak di negeri ini. Tahun 2000 misalnya ada sebanyak 38,7 juta dan pada 2005 turun menjadi 35,10 juta. Namun, pada 2006 terjadi kenaikan jumlah penduduk miskin menjadi 39,30 juta. Lalu pada Maret 2007, masih sekitar 37,17 juta.
Tahun 2009 ini, penduduk miskin masih berada pada angka 34 juta. Artinya, dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia sebanyak kurang lebih 230 juta, sekitar 14,78% nya adalah jumlah penduduk miskin. Lalu pertanyaannya, apa hubungannya penduduk miskin dengan pengemplang pajak?
Pajak adalah salah satu sumber penerimaan negara, dan itu telah menjadi kesepakatan bersa ma. Bahkan pajak saat ini menjadi satu-satunya sumber penerimaan terbesar pembangunan bangsa, untuk kesejahteraan, bangsa. Seandainya negeri ini tidak ada pengemplang pajak, secara tidak langsung mau tidak mau kesejahteraan masyarakat miskin akan meningkat, atau jumlah penduduk miskin akanberkurang.
Sekarang ini belum ada instrumen lain selain pajak yang bisa menjadikan penduduk miskin berkurang. Bahkan Pasal 34 Ayat (1) UUD 45 secara tegas menye-. butkan bahwa negara wajib melindungi fakir miskin dan orang telantar. Nah, untuk melindungifakir miskin dan anak telantar supaya mereka bisa hidup lebih baik, mereka harus sekolah serta mendapat makan atau pekerjaan yang baik.
Secara sadar sebenarnya para pengemplang pajak sudah menggerogoti atau menggagalkan upaya negara untuk menyejahterakan rakyat. Bahkan secara ekstrem, pengemplang pajak punya andil dalam memiskinkan masyarakat. Penambahan jumlah penduduk miskin juga bisa dikatakan seakan diciptakan oleh pengemplang pajak. Kalau begitu, para pengemplang pajak harus disadarkan.
Dalam konteks hidup bermasyarakat, pengemplang pajak se-benarnya tidak layak untuk tinggal bersama. Mereka bisa digolongkan penduduk gelap yang hanya ingin menikmati fasilitas umum negara, tetapi tidak mau turut berkontribusi dalam membayar pajak.
Pengemplang pajak harus menyadari bahwa penghasilan yangdiperolehnya bisa terwujud karena adanya fasilitas umum yang disediakan negara. Jika tidak demikian, setiap orang tidak akan mampu menyediakan fasilitas umum untuk kebutuhan atau keperluannya sendiri-sendiri
Kesadaran dan kepatuhan sudah saatnya ter-intemalized dalam diri setiap orang (wajib pajak). Bila itu terjadi, keyakinan terhapusnya kemiskinan di negeri ini pasti terjadi. Instrumen pajak menjadi hal sangat penting untuk disadari. Pengemplang pajak yang terus-menerus melakukan pembayaran pajak tidak benar, harus ditindak bila benar terbukti bersalah.
Tindakan hukum berupa pemeriksaan, penyidikan, dan penyanderaan merupakan instrumen lain dari hukum pajak yang bisa digunakan untuk menindak pengemplang pajak.
Undang-Undang pajak memberikan kesempatan bagi Wajib pajak untuk memperbaiki laporan SPT (surat pemberitahuan tahunan) yang tidak benar. Jika masa perbaikan SPT ndak digunakan, adalah wajar jika negara menuntut mereka untuk mematuhi UU pajak. Masa pengampunan pajak yang dikenal dengan nama sunset policy yang berakhir tahun 2008 lalu, menjadi poin untuk melakukan kajian lebih lanjut. Pengemplang pajak hams bersiap-siap jika penegakan hukum (law enforcement) segera berjalan untuk itu. Mencari dan menyadarkan pengemplang pajak menjadi poin khusus bagi jajaran pegawai Ditjen Pajak untuk menindak para pengemplang pajak.
Tindakan keras
Sadar dan peduli pajak tentu menjadi jauh lebih penting. Jika tidak bisa, tindakan keras tentu saja harus slap untuk diterima seperti kasus Asian Agri di atas.
Saat Darmin Nasution menyampaikan penerimaan negara semester 1 tahun 2009 yang baru mencapai 34% dari rencana, maka kini giliran M. Tjiptardjo meneruskan kebijakan Darmin yang sebelumnya tergolong sukses. Harapan besar masyarakat tertumpu pada pundak Dirjen Pajak M. Tjiptardjo.
Tidak ada kata lain, semua masyarakat hendaknya mendukung tugas penerimaan pajak ini dengan menyadarkan para pengemplang pajak agar negara yang kita cintai dapat terus berlangsung. Lebih dari itu, penduduk miskin bisa berkurang melalui pemanfaatan pajak oleh berbagai institusi lain
Sumber : Bisnis Indonesia
Senin, 11 Oktober 2010
ANALISIS : Membangun Morale Pajak
Ketika ribuan orang dan para elite mencaci-maki Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak gara-gara Gayus Tambunan, lenyaplah morale (spirit, kegigihan, dan kegairahan) para pegawai. Hal yang sama saya rasakan di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat proses "krimininalisasi" pimpinan berlangsung, mulai dari kasus Antasari sampai Bibit-Chandra.
Sayang, pimpinan yang tinggal dua di KPK saat itu terlalu sibuk untuk memikirkan masalah morale ini. Informasi yang saya temui menyebutkan, gangguan psikologis mulai membuat mereka lamban bertindak.
Hal serupa bisa saja terjadi di Ditjen Pajak. Apalagi mantan dirjennya, yang dulu mungkin tak berbuat apa-apa, hampir setiap hari muncul di televisi mencacimaki Ditjen Pajak. Dia merasa Ditjen Pajak dulu lebih baik daripada sekarang. Terhadap ocehan seperti ini, secara kritis saya hanya bisa mengatakan,” Apa kata dunia?”
Beruntung, pemerintah segera merumuskan pengganti mereka yang tak kalah cekatannya.Dan beruntu ng pula di Ditjen Pajak sudah ada hasil yang memadai dari reformasi birokrasi perpajakan jilid satu yang lalu. Beruntunglah Ditjen Pajak segera bertindak, menyatukan morale yang dipelopori para reformer yang “gerah” dikait-kaitkan dengan Gayus. Apa yang harus dilakukan Ditjen Pajak untuk memperkuat pilar bangsa agar dana pajak dapat terus ditingkatkan dan diamankan dari orang-orang rakus?
Halte Bus Gayus
Melalui siaran televisi Anda sudah sering menyaksikan kondektur bus yang melewati Kantor Ditjen Pajak di dekat jembatan Semanggi, menyebut kantor itu dengan nama Gayus. Begitu kerasnya amarah rakyat terhadap Gayus, sampai seluruh insan Ditjen Pajak terkena imbas. Beberapa orang muda pegawai pajak yang naik bus kota bahkan memilih untuk turun di halte bus sebelum atau setelah halte Gayus lalu berjalan kaki sejauh 1-2 km menuju kantor.
Seperti masyarakat umum,mereka juga kecewa pada atasannya, terlebih pada yang terlibat kasus Gayus. Mereka marah besar, apalagi selama ini sudah bertekad antikorupsi. Bekerja di Ditjen Pajak hidup mereka benar-benar berada dalam ujian. Setiap hari orang datang merasakan kompromi beserta amplop tebal.Tapi,kalau Anda tanya kepada pembayar pajak seperti saya, saya yakin jawabnya akan sama: Banyak pembaruan yang telah mereka lakukan.
Seorang mantan pegawai pajak di era lalu mengatakan,“Dulu 8 dari 10 petugas pajak adalah markus dan pemburu amplop. Sekarang jumlahnya sudah jauh berkurang, tetapi masih ada,mungkin 2 dari 10”. Mendengar ucapan itu, saya jadi tersenyum,bagaimana mantan Dirjen Pajak yang sekarang menjadi praktisi dan sering muncul di televisi bisa bilang,zaman dia itu jauh lebih baik dari sekarang.
Tetapi, itulah politik, penuh intrik, balas dendam, tapi tidak kritis, cuma sinis. Yang mereka suka tidak berpikir panjang adalah apa dampaknya bagi nasib bangsa di kemudian hari? Bayangkan kalau orang pajak yang bagusbagus ramai-ramai mengundurkan diri. Atau kalau mereka jadi tak bergairah memburu wajib pajakwajib pajak kakap? Morale kerja adalah modal utama seorang pegawai.Sejak mazhab learning dalam manajemen hidup, aliran Isaac Newton yang kaya dengan logika terstruktur sudah lama ditinggalkan.
Manusia tidak bisa lagi dipandang sebagai komponen yang sama dan standar. Dia juga bukanlah sebuah objek yang duduk dalam hierarki vertikal pada suatu jajaran birokrasi. Manusia adalah makhluk hidup yang dilahirkan dengan nalar, kehendak, dan perasaan. Ketika kita gagal memahaminya,gagal pulalah kita memartisipasikan mereka. Untuk itulah,kita perlu terus menumbuhkan morale birokrasi, terutama jajaran yang ditugaskan untuk menghimpun dana dalam jumlah besar.
Ciri-ciri morale dapat dilihat secara kasatmata dalam daya juang, semangat hidup, daya kreasi, daya tangkal, dan tentu saja besarnya goals yang mereka tetapkan. Sedangkan morale yang memburuk dapat dilihat dari kegairahan yang memudar, bekerja karena diperintah, ketidaksempurnaan pencapaian target, konflik, keinginan untuk berhenti, tak ada inisiatif, dan saling menyalahkan.
Lingkaran Baik
Pekan lalu Rumah Perubahan diminta bantuan untuk membangun kembali morale aparat Ditjen Pajak. Ini untuk kesekian kalinya saya membantu temanteman Ditjen Pajak sehingga saya agak kenal siapa mereka, apa pergulatan yang mereka hadapi, dan bagaimana perubahan menghantam mereka. Sembilan tahun lalu saya mulai bergulat dengan mereka menantang asumsi-asumsi yang mereka anut selama bertahun-tahun dan mengajak keluar melawan belenggu-belenggu.
Lalu ketika Darmin Nasution memimpin Ditjen Pajak, saya juga diminta memberikan pengarahan tentang Strategic Change & Planning dalam mengawal reformasi pajak jilid satu. Semua program perubahan di Ditjen Pajak mereka kerjakan sendiri praktis tanpa bantuan konsultan.Padahal di luar sudah banyak konsultan asing yang menganga di depan mereka. Sebagai guru perubahan, saya selalu mengatakan empat hal ini.
Pertama, perubahan selalu datang bersama teman-temannya yaitu penyangkalan, perlawanan (resistensi), kecurigaan, dan pengkhianatan internal.Kedua, perubahan tidak pernah bergerak lincah seperti garis lurus yang mengikuti pola teratur. Perubahan memiliki dua pola berbentuk spiral yaitu lingkaran baik dan lingkaran setan. Lingkaran spiral itu dapat dijelaskan seperti orang yang menaiki gunung.
Dia melewati lekuk liku kontur gunung yang kadang menanjak,lalu menurun, dan naik lagi.Meski banyak melewati turunan, arahnya menuju puncak dapat dilihat. Sedangkan lingkaran setan tak memberi kepastian tujuan. Bila ada masalah setelah lama berhasil, dia segera menukikkan balik ke titik nol. Seperti kata Chairil Anwar,” Sekali berarti,lalu mati.” Ketiga,tidak semua orang dapat diajak berubah.
Ibarat tanah di perbukitan yang tandus ingin diubah menjadi hutan,hendaknya kita tak perlu berambisi dengan menanam semua titik. Kita cukup menanam benih pada tanah yang subur, dan mendiamkan batu-batu besar berada di sana. Lalu pohon-pohon besar itu akan mengeluarkan biji. Biji-biji dibawa musang, tikus, bajing, dan seterusnya menambah area persebaran. Lama-lama batu tertutup oleh pohon-pohon besar, dan bukit menjadi hijau.Namun, batu tetaplah batu,bukan tanah.
Keempat,perubahan harus dimulai dari kesamaan cara pandang. Dari semua orang yang melihat, bahkan hanya 20% yang bergerak.Maka ketika Ditjen Pajak mendapat serangan,saya kira harus ada orang yang mengambil peran. Bukan untuk melakukan pekerjaan sia-sia mengetuk batu, melainkan melindungi pohon-pohon yang sudah tumbuh. Itulah tugas mulia kita,menjaga agar reformer pajak jangan dijadikan tumbal wajib pajak bermasalah.
Pesan Menteri Keuangan
Harus diakui sudah ada banyak reformer di Ditjen Pajak. Mereka menulis perasaan mereka pada buku berjudul Berbagi Kisah dan Harapan. Cara menulisnya memang masih amatir,tetapi itulah isi perasaan insan pajak yang secara garis besar selalu mengatakan, “Ingat pesan itu dari kampung. Hidup bermartabat bukan dengan uang korupsi.”
Di penghujung acara selama tiga hari pekan lalu itu, Menteri Keuangan (Menkeu) berpesan: Musuh terbesar birokrasi adalah rasa sungkan bawahan terhadap atasannya dan sungkan sesama pejabat. “Beranilah menyampaikan yang benar. Bila perlu, berdebatlah,” ujar mantan CEO Bank Mandiri itu. Saya kira Menkeu Agus Martowardojo sangat tepat. Ini musuh bersama reformasi birokrasi yang harus dihadapi bersama.
Kalau birokrasi kita lebih profesional, mereka akan mendahulukan halhal yang utama ketimbang mementingkan kehendak orang lain yang belum tentu penting. Saya mengerti rasa berang kita terhadap aparat perpajakan belumlah pupus. Namun, mereka yang mau berubah dan menjadi reformer harus diberi apresiasi. Bersama merekalah kita melawan para koruptor dan pengemplang pajak yang berlindung di balik kekuatan atau motif-motif balas dendam politisi kotor.(*)
RHENALD KASALI
Ketua Program MM UI
Sumber: Seputar Indonesia, Kamis 24 Juni 2010
Sayang, pimpinan yang tinggal dua di KPK saat itu terlalu sibuk untuk memikirkan masalah morale ini. Informasi yang saya temui menyebutkan, gangguan psikologis mulai membuat mereka lamban bertindak.
Hal serupa bisa saja terjadi di Ditjen Pajak. Apalagi mantan dirjennya, yang dulu mungkin tak berbuat apa-apa, hampir setiap hari muncul di televisi mencacimaki Ditjen Pajak. Dia merasa Ditjen Pajak dulu lebih baik daripada sekarang. Terhadap ocehan seperti ini, secara kritis saya hanya bisa mengatakan,” Apa kata dunia?”
Beruntung, pemerintah segera merumuskan pengganti mereka yang tak kalah cekatannya.Dan beruntu ng pula di Ditjen Pajak sudah ada hasil yang memadai dari reformasi birokrasi perpajakan jilid satu yang lalu. Beruntunglah Ditjen Pajak segera bertindak, menyatukan morale yang dipelopori para reformer yang “gerah” dikait-kaitkan dengan Gayus. Apa yang harus dilakukan Ditjen Pajak untuk memperkuat pilar bangsa agar dana pajak dapat terus ditingkatkan dan diamankan dari orang-orang rakus?
Halte Bus Gayus
Melalui siaran televisi Anda sudah sering menyaksikan kondektur bus yang melewati Kantor Ditjen Pajak di dekat jembatan Semanggi, menyebut kantor itu dengan nama Gayus. Begitu kerasnya amarah rakyat terhadap Gayus, sampai seluruh insan Ditjen Pajak terkena imbas. Beberapa orang muda pegawai pajak yang naik bus kota bahkan memilih untuk turun di halte bus sebelum atau setelah halte Gayus lalu berjalan kaki sejauh 1-2 km menuju kantor.
Seperti masyarakat umum,mereka juga kecewa pada atasannya, terlebih pada yang terlibat kasus Gayus. Mereka marah besar, apalagi selama ini sudah bertekad antikorupsi. Bekerja di Ditjen Pajak hidup mereka benar-benar berada dalam ujian. Setiap hari orang datang merasakan kompromi beserta amplop tebal.Tapi,kalau Anda tanya kepada pembayar pajak seperti saya, saya yakin jawabnya akan sama: Banyak pembaruan yang telah mereka lakukan.
Seorang mantan pegawai pajak di era lalu mengatakan,“Dulu 8 dari 10 petugas pajak adalah markus dan pemburu amplop. Sekarang jumlahnya sudah jauh berkurang, tetapi masih ada,mungkin 2 dari 10”. Mendengar ucapan itu, saya jadi tersenyum,bagaimana mantan Dirjen Pajak yang sekarang menjadi praktisi dan sering muncul di televisi bisa bilang,zaman dia itu jauh lebih baik dari sekarang.
Tetapi, itulah politik, penuh intrik, balas dendam, tapi tidak kritis, cuma sinis. Yang mereka suka tidak berpikir panjang adalah apa dampaknya bagi nasib bangsa di kemudian hari? Bayangkan kalau orang pajak yang bagusbagus ramai-ramai mengundurkan diri. Atau kalau mereka jadi tak bergairah memburu wajib pajakwajib pajak kakap? Morale kerja adalah modal utama seorang pegawai.Sejak mazhab learning dalam manajemen hidup, aliran Isaac Newton yang kaya dengan logika terstruktur sudah lama ditinggalkan.
Manusia tidak bisa lagi dipandang sebagai komponen yang sama dan standar. Dia juga bukanlah sebuah objek yang duduk dalam hierarki vertikal pada suatu jajaran birokrasi. Manusia adalah makhluk hidup yang dilahirkan dengan nalar, kehendak, dan perasaan. Ketika kita gagal memahaminya,gagal pulalah kita memartisipasikan mereka. Untuk itulah,kita perlu terus menumbuhkan morale birokrasi, terutama jajaran yang ditugaskan untuk menghimpun dana dalam jumlah besar.
Ciri-ciri morale dapat dilihat secara kasatmata dalam daya juang, semangat hidup, daya kreasi, daya tangkal, dan tentu saja besarnya goals yang mereka tetapkan. Sedangkan morale yang memburuk dapat dilihat dari kegairahan yang memudar, bekerja karena diperintah, ketidaksempurnaan pencapaian target, konflik, keinginan untuk berhenti, tak ada inisiatif, dan saling menyalahkan.
Lingkaran Baik
Pekan lalu Rumah Perubahan diminta bantuan untuk membangun kembali morale aparat Ditjen Pajak. Ini untuk kesekian kalinya saya membantu temanteman Ditjen Pajak sehingga saya agak kenal siapa mereka, apa pergulatan yang mereka hadapi, dan bagaimana perubahan menghantam mereka. Sembilan tahun lalu saya mulai bergulat dengan mereka menantang asumsi-asumsi yang mereka anut selama bertahun-tahun dan mengajak keluar melawan belenggu-belenggu.
Lalu ketika Darmin Nasution memimpin Ditjen Pajak, saya juga diminta memberikan pengarahan tentang Strategic Change & Planning dalam mengawal reformasi pajak jilid satu. Semua program perubahan di Ditjen Pajak mereka kerjakan sendiri praktis tanpa bantuan konsultan.Padahal di luar sudah banyak konsultan asing yang menganga di depan mereka. Sebagai guru perubahan, saya selalu mengatakan empat hal ini.
Pertama, perubahan selalu datang bersama teman-temannya yaitu penyangkalan, perlawanan (resistensi), kecurigaan, dan pengkhianatan internal.Kedua, perubahan tidak pernah bergerak lincah seperti garis lurus yang mengikuti pola teratur. Perubahan memiliki dua pola berbentuk spiral yaitu lingkaran baik dan lingkaran setan. Lingkaran spiral itu dapat dijelaskan seperti orang yang menaiki gunung.
Dia melewati lekuk liku kontur gunung yang kadang menanjak,lalu menurun, dan naik lagi.Meski banyak melewati turunan, arahnya menuju puncak dapat dilihat. Sedangkan lingkaran setan tak memberi kepastian tujuan. Bila ada masalah setelah lama berhasil, dia segera menukikkan balik ke titik nol. Seperti kata Chairil Anwar,” Sekali berarti,lalu mati.” Ketiga,tidak semua orang dapat diajak berubah.
Ibarat tanah di perbukitan yang tandus ingin diubah menjadi hutan,hendaknya kita tak perlu berambisi dengan menanam semua titik. Kita cukup menanam benih pada tanah yang subur, dan mendiamkan batu-batu besar berada di sana. Lalu pohon-pohon besar itu akan mengeluarkan biji. Biji-biji dibawa musang, tikus, bajing, dan seterusnya menambah area persebaran. Lama-lama batu tertutup oleh pohon-pohon besar, dan bukit menjadi hijau.Namun, batu tetaplah batu,bukan tanah.
Keempat,perubahan harus dimulai dari kesamaan cara pandang. Dari semua orang yang melihat, bahkan hanya 20% yang bergerak.Maka ketika Ditjen Pajak mendapat serangan,saya kira harus ada orang yang mengambil peran. Bukan untuk melakukan pekerjaan sia-sia mengetuk batu, melainkan melindungi pohon-pohon yang sudah tumbuh. Itulah tugas mulia kita,menjaga agar reformer pajak jangan dijadikan tumbal wajib pajak bermasalah.
Pesan Menteri Keuangan
Harus diakui sudah ada banyak reformer di Ditjen Pajak. Mereka menulis perasaan mereka pada buku berjudul Berbagi Kisah dan Harapan. Cara menulisnya memang masih amatir,tetapi itulah isi perasaan insan pajak yang secara garis besar selalu mengatakan, “Ingat pesan itu dari kampung. Hidup bermartabat bukan dengan uang korupsi.”
Di penghujung acara selama tiga hari pekan lalu itu, Menteri Keuangan (Menkeu) berpesan: Musuh terbesar birokrasi adalah rasa sungkan bawahan terhadap atasannya dan sungkan sesama pejabat. “Beranilah menyampaikan yang benar. Bila perlu, berdebatlah,” ujar mantan CEO Bank Mandiri itu. Saya kira Menkeu Agus Martowardojo sangat tepat. Ini musuh bersama reformasi birokrasi yang harus dihadapi bersama.
Kalau birokrasi kita lebih profesional, mereka akan mendahulukan halhal yang utama ketimbang mementingkan kehendak orang lain yang belum tentu penting. Saya mengerti rasa berang kita terhadap aparat perpajakan belumlah pupus. Namun, mereka yang mau berubah dan menjadi reformer harus diberi apresiasi. Bersama merekalah kita melawan para koruptor dan pengemplang pajak yang berlindung di balik kekuatan atau motif-motif balas dendam politisi kotor.(*)
RHENALD KASALI
Ketua Program MM UI
Sumber: Seputar Indonesia, Kamis 24 Juni 2010
Daerah Belum Siap Tangani PBB-BPHTB
ANYER(SI)-Rencana pengalihan pajak bumi dan bangunan (PBB) dan biaya pengalihan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) di bawah kewenangan daerah terancam gagal. Dari 33 provinsi, baru 2 provinsi yang mengaku sudah siap."Rencana Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak untuk mengalihkan penerimaan pajak dari PBB dan BPHTB ke daerah sudah seharusnya direalisasikan, namun saya khawatir daerah belum siap," kata Pengamat Perpajakan Darussalam ketika dihubungi kemarin. Selama ini, kata Darussalam, PBB dan BPHTB di seluruh Indone-sia dipungut oleh pemerintah pusat. Namun, pada 2011 pajak dipungut olehpemerintahdaerah(pemda)di-mana bangunan dan tanah tersebut herada.Tujuannya untuk pemerataan pembangunan agar pajak bisa dinikmati di daerah-daerah.
Pengalihan pemungutan PBB dan BPHTB menurut Darussalam memang bukan langkah yang mudah dan bisa direalisasikan dengan cepat. Sebab, kemampuan masing-masing daerah untuk mengelola keuangan berbeda. "Untuk mempersiapkan pengalihan, seharusnya sum ber daya manusia (SDM) di daerah sudah dipersiapkan, jangan sampai dialihkan tapi mereka tidak mampu menangani," tegasnya.
Dalam sebuah diskusi dengan media di Anyer, Banten, terungkap bahwa pengalihan pemungutan PBB perdesaan dan perkotaan dan BPHTB dinilai tidak akan mengurangi penerimaan pajak pemerintah pusat. Pengalihan pemungutan terjadi karena berlakunya Undang-Undang Nomor 28/2009 tentang PajakDaerahdanRetribusiDaerah (PDRD) rang berlaku sejak 1 Januari 2011.
"Pengalihan PBB dan BPHTB ke daerah tidak akan menganggu penerimaan pajak di pusat yang telah ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2010," kata Kasubdit Bidang Penilaian II Ekstensifikasi dan Penilaian Ditjen Pajak Budi Hardjanto. Sumber : Harian Seputar Indonesia
Pengalihan pemungutan PBB dan BPHTB menurut Darussalam memang bukan langkah yang mudah dan bisa direalisasikan dengan cepat. Sebab, kemampuan masing-masing daerah untuk mengelola keuangan berbeda. "Untuk mempersiapkan pengalihan, seharusnya sum ber daya manusia (SDM) di daerah sudah dipersiapkan, jangan sampai dialihkan tapi mereka tidak mampu menangani," tegasnya.
Dalam sebuah diskusi dengan media di Anyer, Banten, terungkap bahwa pengalihan pemungutan PBB perdesaan dan perkotaan dan BPHTB dinilai tidak akan mengurangi penerimaan pajak pemerintah pusat. Pengalihan pemungutan terjadi karena berlakunya Undang-Undang Nomor 28/2009 tentang PajakDaerahdanRetribusiDaerah (PDRD) rang berlaku sejak 1 Januari 2011.
"Pengalihan PBB dan BPHTB ke daerah tidak akan menganggu penerimaan pajak di pusat yang telah ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2010," kata Kasubdit Bidang Penilaian II Ekstensifikasi dan Penilaian Ditjen Pajak Budi Hardjanto. Sumber : Harian Seputar Indonesia
Biaya PPh 15 pelayaran akan naik
JAKARTA Pelaku pelayaran memperkirakan pajak penghasilan (PPh) pasal 15 atas penerimaan pendapatan dari pengenaan biaya . angkutan (freight) melalui laut domestik meningkat seiring dengan pelaksanaan asas cabotage. Peningkatan nilai pajak PPh yang dibayar perusahaan pelayaran nasional kepada negara itu disebabkan semakin besarnya penguasaan kapal berbendera Merah Putih terhadap kegiatan pengangkutan laut di dalam negeri yang kini sudah mencapai 90,2% dari total pangsa muatan domestik.
Direktur Utama PT Era Indo-asia Fortune Paulis A. Djohan mengatakan selama 2009 total ongkos angkut laut (freight) dari kegiatan pengangkutan komoditas yang dilakukan kapal nasional domestik mencapai Rp25,78 triliun dengan jumlah barang yang diangkut sebanyak 257,8 juta ton.
Dia menjelaskan sektor pelayaran diwajibkan membayar
PPh pasal 15 sebesar 1,2% dari total peng hasilan yang bersumber dari pengenaan biaya angkut sehingga nilai PPh yang dibayar diperkirakan mencapai Rp214,8 miliar.
"Angka itu tidak sedikit, " tegasnya kepada Bisnis pekan lalu.
Berdasarkan data Kementerian Perhubungan (Kemenhub), potensi muatan barang yang diangkut kapal berbendera Merah Putih dan dioperasikan perusahaan pelayaran nasional selama 2010 mencapai 277,1 juta ton dengan ongkos angkut Rp27,71 triliun.
Menurut Paulis, peningkatan jumlah barang yang diangkut selama 2010 akan menaikkan penerimaan negara yang bersumber dari pajak PPh pengangkutan.
"Seharusnya PPh yang dibayar ke negara selama 2010 ini mencapai Rp230,l miliar," tegasnya.
Dia menilai selain memperbesar penerimaan negara melalui pajak PPh, program asas cabotage yang mewajibkan pengangkutan laut domestik menggunakan kapal nasional telah menyelamatkan arus devisa negara dari ongkos angkut domestik sebesar US$2,9 miliar.
Wakil Ketua DPP Indonesian
National Shipowners Association (INSA) L. Sudjatmiko mengatakan selama Maret 2005 hingga Maret 2010 sebanyak 143,8 juta ton barang domestik berhasil diambil alih kegiatan pengangkutannya oleh kapal berbendera Merah Putih dari asing.
Barang-barang berupa komoditas yang diangkut dengan kontainer, general kargo, tambang batu bara, kayu, kayu olahan, semen, beras, crude palm oil (CPO), minyak dan gas maupun offshore (kegiatan pendukung lepas pantai).
Jumlahnya bertambah karena pemerintah memastikan menutup kegiatan pengangkutan domestik dari asing pada Mei 2011.
"Rata-rata nilai ongkos angkut domestik US$20 per ton sehinggaada US$2,9 miliar potensi devisa yang diselamatkan pelayaran nasional," katanya.
Terus meningkat
Berdasarkan data Kemenhub, selama 2005 hingga 2009, penguasaan kapal berbendera asing terhadap muatan di dalam negeri terus berkurang. Pada 2005, asing mengangkut 91,88 juta ton barang dengan biaya freight sebesar US$1,8 miliar. Setahun kemudian berkurang menjadi US$1,7 miliar dengan muatan sebanyak 85,44 juta ton, sedangkan selama 2007 dan 2008 kapal asing masih mengangkut masing-masing 79,21 juta ton dan 50,12 juta ton dengan biaya freight masing-masing US$1,6 miliar dan US$1,0 miliar.
Hingga akhir 2009, kapal berbendera asing masih mengangkut sebanyak 28,1 juta ton komoditas di dalam negeri dengan biaya angkut sebesar US$560 juta. Tahun depan, 100% komoditas di dalam negeri wajib diangkut kapal nasional sesuai UU No. 17 tahun 2008 tentang Pelayaran.
Asas cabotage adalah kebijakan yang mewajibkan kegiatan pengangkutan dengan moda transportasi laut di dalam negerimenggunakan kapal berbendera Merah Putih dan diawaki oleh awak berkewarganegaraan lndo-nesia.
Kebijakan ini didasarkan kepada Inpres No. 5 tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional -dan KM No.71 tahun 2005 tentang Kegiatan Pengangkutan Barang di dalam negeri serta UU No. 17 tahun 2008 tentang Pelayaran.
Sampai 2009, Indonesia berhasil menggantikan kapal asing untuk pengangkutan 13 komoditas yakni migas, kargo umum, batu bara, kontainer, kayu, beras, CPO, pupuk, semen, bahan galian, biji-bijian, muatan cair, sa-yur-sayuriri, buah-buahan dan ikan segar serta bijian hasil pertanian.
Tahun ini, pemerintah menargetkan kapal-kapal berbendera asing di sektor angkutan lepas pantai (off shore) sudah bisa digantikan oleh armada nasional sehingga mulai 1 Januari 2011 tidak ada kapal berbendera asing yang melakukan kegiatan pengangkutan di dalam negeri.
Paulis menegaskan pelaku usaha pelayaran nasional optimistis pelaksanaan program nasional asas cabotage secara penuh akan berjalan sesuai tenggat waktu yang ditetapkan pemerintah yakni selambat-lambatnya Mei 2011.
Sumber : Bisnis Indonesia
Direktur Utama PT Era Indo-asia Fortune Paulis A. Djohan mengatakan selama 2009 total ongkos angkut laut (freight) dari kegiatan pengangkutan komoditas yang dilakukan kapal nasional domestik mencapai Rp25,78 triliun dengan jumlah barang yang diangkut sebanyak 257,8 juta ton.
Dia menjelaskan sektor pelayaran diwajibkan membayar
PPh pasal 15 sebesar 1,2% dari total peng hasilan yang bersumber dari pengenaan biaya angkut sehingga nilai PPh yang dibayar diperkirakan mencapai Rp214,8 miliar.
"Angka itu tidak sedikit, " tegasnya kepada Bisnis pekan lalu.
Berdasarkan data Kementerian Perhubungan (Kemenhub), potensi muatan barang yang diangkut kapal berbendera Merah Putih dan dioperasikan perusahaan pelayaran nasional selama 2010 mencapai 277,1 juta ton dengan ongkos angkut Rp27,71 triliun.
Menurut Paulis, peningkatan jumlah barang yang diangkut selama 2010 akan menaikkan penerimaan negara yang bersumber dari pajak PPh pengangkutan.
"Seharusnya PPh yang dibayar ke negara selama 2010 ini mencapai Rp230,l miliar," tegasnya.
Dia menilai selain memperbesar penerimaan negara melalui pajak PPh, program asas cabotage yang mewajibkan pengangkutan laut domestik menggunakan kapal nasional telah menyelamatkan arus devisa negara dari ongkos angkut domestik sebesar US$2,9 miliar.
Wakil Ketua DPP Indonesian
National Shipowners Association (INSA) L. Sudjatmiko mengatakan selama Maret 2005 hingga Maret 2010 sebanyak 143,8 juta ton barang domestik berhasil diambil alih kegiatan pengangkutannya oleh kapal berbendera Merah Putih dari asing.
Barang-barang berupa komoditas yang diangkut dengan kontainer, general kargo, tambang batu bara, kayu, kayu olahan, semen, beras, crude palm oil (CPO), minyak dan gas maupun offshore (kegiatan pendukung lepas pantai).
Jumlahnya bertambah karena pemerintah memastikan menutup kegiatan pengangkutan domestik dari asing pada Mei 2011.
"Rata-rata nilai ongkos angkut domestik US$20 per ton sehinggaada US$2,9 miliar potensi devisa yang diselamatkan pelayaran nasional," katanya.
Terus meningkat
Berdasarkan data Kemenhub, selama 2005 hingga 2009, penguasaan kapal berbendera asing terhadap muatan di dalam negeri terus berkurang. Pada 2005, asing mengangkut 91,88 juta ton barang dengan biaya freight sebesar US$1,8 miliar. Setahun kemudian berkurang menjadi US$1,7 miliar dengan muatan sebanyak 85,44 juta ton, sedangkan selama 2007 dan 2008 kapal asing masih mengangkut masing-masing 79,21 juta ton dan 50,12 juta ton dengan biaya freight masing-masing US$1,6 miliar dan US$1,0 miliar.
Hingga akhir 2009, kapal berbendera asing masih mengangkut sebanyak 28,1 juta ton komoditas di dalam negeri dengan biaya angkut sebesar US$560 juta. Tahun depan, 100% komoditas di dalam negeri wajib diangkut kapal nasional sesuai UU No. 17 tahun 2008 tentang Pelayaran.
Asas cabotage adalah kebijakan yang mewajibkan kegiatan pengangkutan dengan moda transportasi laut di dalam negerimenggunakan kapal berbendera Merah Putih dan diawaki oleh awak berkewarganegaraan lndo-nesia.
Kebijakan ini didasarkan kepada Inpres No. 5 tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional -dan KM No.71 tahun 2005 tentang Kegiatan Pengangkutan Barang di dalam negeri serta UU No. 17 tahun 2008 tentang Pelayaran.
Sampai 2009, Indonesia berhasil menggantikan kapal asing untuk pengangkutan 13 komoditas yakni migas, kargo umum, batu bara, kontainer, kayu, beras, CPO, pupuk, semen, bahan galian, biji-bijian, muatan cair, sa-yur-sayuriri, buah-buahan dan ikan segar serta bijian hasil pertanian.
Tahun ini, pemerintah menargetkan kapal-kapal berbendera asing di sektor angkutan lepas pantai (off shore) sudah bisa digantikan oleh armada nasional sehingga mulai 1 Januari 2011 tidak ada kapal berbendera asing yang melakukan kegiatan pengangkutan di dalam negeri.
Paulis menegaskan pelaku usaha pelayaran nasional optimistis pelaksanaan program nasional asas cabotage secara penuh akan berjalan sesuai tenggat waktu yang ditetapkan pemerintah yakni selambat-lambatnya Mei 2011.
Sumber : Bisnis Indonesia
Ditjen Pajak Bakal Sertifikasi NPWP
JAKARTA. Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak berencana mensertifikasi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Tujuannya agar pemegang NPWP juga bisa mengakses infrastruktur ekonomi. Ditjen Pajak menargetkan, rencana tersebut bisa terealisasi pada 2012-2013 nanti. Sehingga, semua pemegang NPWP sudah bisa mendapatkan certificate authority (CA). "Prosesnya tak lama, tinggal memverifikasi data-data yang sudah ada, kami saat ini sedang mengkaji sistemnya," kata Direktur Transformasi Teknologi Komunikasi dan Informasi Perpajakan Ditjen Pajak Hario Damar, akhir pekan lalu. Dengan sertifikat ini. Hario menjelaskan, para pemilik NPWP bisa mendekap sejumlah keuntungan, yakni dapat mengakses infrastruktur ekonomis seperti mengajukan pinjaman atau kredit. Jadi. "Kami akan menjadikan NPWP kita jadi CA economist. Kita mempunyai hak ekonomis di Indonesia karena kita membayar pa-jak. Secara ekonomis diakui sebagai warga negara," ujar dia.
Pengamat Pajak UI Darussalam menuturkan, rencana sertifikasi NPWP tersebut berhubungan dengan program nomor induk kependudukan atau single indentity number (SIN). Ini merupakan langkah maju Ditjen Pajak karena ke depan persyaratan apa pun semisal pengajuan pinjaman, semestinya dikaitkan dengan kepemilikan nomor pokok wajib pajak.
Menurut Darussalam, beberapa negara sudah memberlakukan aturan main tersebut. Transaksi apa pun yang dilakukan oleh wajib pajak bakal terekam. Misalnya, ketika mengajukan kredit kepemilikan mobil dan rumah. Artinya, NPWP ini akan menjadi suatu kewajiban bagi semua wajib pajak. "Manfaatnya bisa meminimalisir penghindaran pajak berganda dan mendorong tingkat kepatuhan dari para wajib pajak." katanya.
Sumber : Harian Kontan
Pengamat Pajak UI Darussalam menuturkan, rencana sertifikasi NPWP tersebut berhubungan dengan program nomor induk kependudukan atau single indentity number (SIN). Ini merupakan langkah maju Ditjen Pajak karena ke depan persyaratan apa pun semisal pengajuan pinjaman, semestinya dikaitkan dengan kepemilikan nomor pokok wajib pajak.
Menurut Darussalam, beberapa negara sudah memberlakukan aturan main tersebut. Transaksi apa pun yang dilakukan oleh wajib pajak bakal terekam. Misalnya, ketika mengajukan kredit kepemilikan mobil dan rumah. Artinya, NPWP ini akan menjadi suatu kewajiban bagi semua wajib pajak. "Manfaatnya bisa meminimalisir penghindaran pajak berganda dan mendorong tingkat kepatuhan dari para wajib pajak." katanya.
Sumber : Harian Kontan
Langganan:
Postingan (Atom)