Selasa, 12 Oktober 2010

Menyadarkan pengemplang Pajak, Penduduk Miskin Bisa Berkurang Meialui Pemanfaatan Pajak

Ketika pergantian Dirjen Pajak dilakukan dari Darmin Nasution kepada M. Tjiptardjo, pertanyaan pertama yang timbul dari berbagai kalangan adalah bagaimana kelanjutan dugaan kasus Asian Agri yang sedang disidik Ditjen Pajak. Tjiptardjo yang pernah menjabat Direktur Intelijen dan Penyidikan tentu saja amat memahami keinginan masyarakat agar kasus Asian Agri segera diselesaikan setelah bekerja sama dengan pihak Kejaksaan.

Sejak beberapa tahun terakhir, kasus-kasus tindak pidana di bidang perpajakan sebenarnya cukup banyak. Perhatian masyarakat yang sangat besar kepada Asian Agri tentu wajar karena besarnya dugaan kerugian negara senilai Rpl,3 triliun. Kita semua mengharapkan kasus ini bisa segera diselesaikan.

Saat negara membutuhkan pajak untuk melanjutkan pembangunan, kesadaran dan kepatuhan seluruh masyarakat untuk membayar pajak tampaknya sudah harus segera diwujudkan. Siapa pun tentu tidak ingin dikatakan sebagai penumpang gelap [free rider) karena tidak mau bayar pajak. Begitu juga, orang tidak mau dikatakan sebagai pengemplang pajak karena membayar pajak tidak benar.

Membayar pajak bagi seseorang adalah satu beban yang tidak bisa dihindari. Sejarah mencatat tidak ada satu orang pun yang rela membayar pajak. Na-mun, membayar pajak adalah satu keharusan/kewajiban yang melekat pada setiap orang yang sudah berpenghasilan. Bahkan untuk jenis pajak pertambahan nilai (PPN), akan terkena pada setiap orang sekalipun tidak berpenghasilan.

Kalau pajak tidak bisa dihindarkan lagi dalam kehidupan setiap orang, masyarakat harus menyikapinya dengan benar. Hindarkan cara berpikir untuk menghindari pajak atau mengemplang pajak. Bisa dikatakan bahwa para pengemplang pajak adalah kelompok orang yang tidak mencintai negeri ini. Bahkan pengemplang pajak bisa disebut telah menggagalkan upaya negara untuk menyejahterakan rakyat.

Sebagai gambaran, penduduk miskin masih cukup banyak di negeri ini. Tahun 2000 misalnya ada sebanyak 38,7 juta dan pada 2005 turun menjadi 35,10 juta. Namun, pada 2006 terjadi kenaikan jumlah penduduk miskin menjadi 39,30 juta. Lalu pada Maret 2007, masih sekitar 37,17 juta.

Tahun 2009 ini, penduduk miskin masih berada pada angka 34 juta. Artinya, dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia sebanyak kurang lebih 230 juta, sekitar 14,78% nya adalah jumlah penduduk miskin. Lalu pertanyaannya, apa hubungannya penduduk miskin dengan pengemplang pajak?

Pajak adalah salah satu sumber penerimaan negara, dan itu telah menjadi kesepakatan bersa ma. Bahkan pajak saat ini menjadi satu-satunya sumber penerimaan terbesar pembangunan bangsa, untuk kesejahteraan, bangsa. Seandainya negeri ini tidak ada pengemplang pajak, secara tidak langsung mau tidak mau kesejahteraan masyarakat miskin akan meningkat, atau jumlah penduduk miskin akanberkurang.

Sekarang ini belum ada instrumen lain selain pajak yang bisa menjadikan penduduk miskin berkurang. Bahkan Pasal 34 Ayat (1) UUD 45 secara tegas menye-. butkan bahwa negara wajib melindungi fakir miskin dan orang telantar. Nah, untuk melindungifakir miskin dan anak telantar supaya mereka bisa hidup lebih baik, mereka harus sekolah serta mendapat makan atau pekerjaan yang baik.

Secara sadar sebenarnya para pengemplang pajak sudah menggerogoti atau menggagalkan upaya negara untuk menyejahterakan rakyat. Bahkan secara ekstrem, pengemplang pajak punya andil dalam memiskinkan masyarakat. Penambahan jumlah penduduk miskin juga bisa dikatakan seakan diciptakan oleh pengemplang pajak. Kalau begitu, para pengemplang pajak harus disadarkan.

Dalam konteks hidup bermasyarakat, pengemplang pajak se-benarnya tidak layak untuk tinggal bersama. Mereka bisa digolongkan penduduk gelap yang hanya ingin menikmati fasilitas umum negara, tetapi tidak mau turut berkontribusi dalam membayar pajak.

Pengemplang pajak harus menyadari bahwa penghasilan yangdiperolehnya bisa terwujud karena adanya fasilitas umum yang disediakan negara. Jika tidak demikian, setiap orang tidak akan mampu menyediakan fasilitas umum untuk kebutuhan atau keperluannya sendiri-sendiri


Kesadaran dan kepatuhan sudah saatnya ter-intemalized dalam diri setiap orang (wajib pajak). Bila itu terjadi, keyakinan terhapusnya kemiskinan di negeri ini pasti terjadi. Instrumen pajak menjadi hal sangat penting untuk disadari. Pengemplang pajak yang terus-menerus melakukan pembayaran pajak tidak benar, harus ditindak bila benar terbukti bersalah.

Tindakan hukum berupa pemeriksaan, penyidikan, dan penyanderaan merupakan instrumen lain dari hukum pajak yang bisa digunakan untuk menindak pengemplang pajak.

Undang-Undang pajak memberikan kesempatan bagi Wajib pajak untuk memperbaiki laporan SPT (surat pemberitahuan tahunan) yang tidak benar. Jika masa perbaikan SPT ndak digunakan, adalah wajar jika negara menuntut mereka untuk mematuhi UU pajak. Masa pengampunan pajak yang dikenal dengan nama sunset policy yang berakhir tahun 2008 lalu, menjadi poin untuk melakukan kajian lebih lanjut. Pengemplang pajak hams bersiap-siap jika penegakan hukum (law enforcement) segera berjalan untuk itu. Mencari dan menyadarkan pengemplang pajak menjadi poin khusus bagi jajaran pegawai Ditjen Pajak untuk menindak para pengemplang pajak.

Tindakan keras

Sadar dan peduli pajak tentu menjadi jauh lebih penting. Jika tidak bisa, tindakan keras tentu saja harus slap untuk diterima seperti kasus Asian Agri di atas.

Saat Darmin Nasution menyampaikan penerimaan negara semester 1 tahun 2009 yang baru mencapai 34% dari rencana, maka kini giliran M. Tjiptardjo meneruskan kebijakan Darmin yang sebelumnya tergolong sukses. Harapan besar masyarakat tertumpu pada pundak Dirjen Pajak M. Tjiptardjo.

Tidak ada kata lain, semua masyarakat hendaknya mendukung tugas penerimaan pajak ini dengan menyadarkan para pengemplang pajak agar negara yang kita cintai dapat terus berlangsung. Lebih dari itu, penduduk miskin bisa berkurang melalui pemanfaatan pajak oleh berbagai institusi lain

Sumber :  Bisnis Indonesia

Tidak ada komentar: