Rabu, 23 Maret 2011

Bangga Bayar Pajak

Judul di atas tampaknya kedengaran aneh tatkala diketahui tidak satu pun orang senang bayar pajak. Mengapa? Sejarah peradaban bangsa mengukir jelas, tidak ada satu pun orang senang atau bangga membayar pajak, namun harus dilakukan. Kita tidak pernah mendengar ungkapan yang berkata, “saya bangga membayar pajak”. Orang yang mengatakan demikian, tetap saja dirasa janggal kedengarannya. Kebanggaan membayar pajak atau memiliki NPWP (Nomor Pokok Wajib pajak), masih jauh di bawah kebanggaan ketika seseorang punya banyak kartu kredit dan jenis kartu belanja lainnya.
Ketika di dalam saku atau dompet terdapat banyak jenis kartu kredit, secara sadar rasa bangga pasti muncul. Namun, ketika ada kartu NPWP dalam saku, serasa ada beban yang muncul. Inilah persoalan yang perlu dikaji, mengapa sampai seseorang belum bangga bayar pajak. Momentum bangga membayar pajak sudah saatnya dimulai dan terus diingatkan. Ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), ketua Lembaga Tinggi dan para Menteri menyampaikan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi yang dilakukan di Kantor Pusat Ditjen Pajak, tanggal 18 Maret 2011, penulis menilai acara tersebut menjadi momentum penting mengingatkan semua orang untuk bangga bayar pajak.

Setiap kali acara rutin penyampaian SPT dilakukan Presiden SBY dan para Menteri, saat itu pula memberikan ingatan terus bangga bayar pajak. Sejatinya, kebanggaan bayar pajak harus mengalahkan kebanggaaan lainnya, termasuk mengalahkan kebanggaan memiliki kartu-kartu jenis lainnya. Satu hal yang menarik dalam acara tersebut adalah diangkatnya tema yang menekankan pentingnya “Peran Ibu dan Anak dalam Meningkatkan Kesadaran Membayar Pajak”. Jika dikaji, tema tersebut tampak linier dengan judul tulisan ini, dengan beberapa penjelasan.

Pertama, sifat bangga tidak akan mungkin tertanam dalam diri seseorang, jika keluarga (ibu dan anak) tidak ikut merasakannya. Dengan kata lain, ayah yang bangga bayar pajak, adalah kebanggaan bagi keluarga yang di dalamnya terdapat ibu dan anak. Kedua, ibu sebagai pengatur keuangan keluarga patut diberi apresiasi ketika mendukung ayah untuk terus bayar pajak. Dan ketiga, kebanggaan suatu keluarga membayar pajak adalah kebanggaan suatu bangsa. Oleh karena suatu bangsa tidak akan terbentuk tanpa ada suatu keluarga.

Di sisi lain, kebanggaan keluarga adalah kebanggaan anak juga. Dilibatkannya anak-anak melihat prosesi penyampaian SPT oleh Presiden, menunjukkan sifat kebanggaan lain yang melihat masa depan bangsa. Masa depan bangsa ada di tangan anak. Anak yang sejak dini memahami pentingnya pajak, pada akhirnya menjadi kebanggaan bagi kebesaran suatu bangsa. Tema penyampaian SPT Tahunan oleh Presiden seperti uraian di atas, menjadi harapan lebih cepat terwujudnya keadilan dan kesejahteraan yang bisa diraih. Ibu dan anak menjadi pemicu mempercepat kondisi lebih baik tersebut.

Ini yang perlu didukung semua pihak. Bicara ibu dan anak sebenarnya bicara satu kesatuan yang dinamakan keluarga. Bicara keluarga adalah juga bicara bangsa yang terdiri dari keluarga. Budaya Indonesia menganut satu kesatuan utuh yang tidak bisa dipisahkan dalam suatu keluarga. Undang-undang perpajakan pun sudah menegaskan bahwa sistem pengenaan pajak menempatkan keluarga sebagai satu kesatuan ekonomis.

Artinya, penghasilan atau kerugian seluruh anggota keluarga digunakan sebagai satu kesatuan yang dikenai pajak dan pemenuhan kewajiban pajaknya dilakukan oleh kepala keluarga (Penjelasan Pasal 8 UU No 7 Tahun 1983 yang diubah dengan UU No 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan). Jadi, keluarga sudah menjadi tujuan awal yang diinginkan pembuat undangundang. Filosofi menekankan prinsip keluarga membayar pajak sudah sangat tepat. Tidak akan mungkin suatu bangsa berpikir, tanpa suatu keluarga berpikir. Keluarga menjadi cerminan suatu bangsa.

Menghitung penghasilan keluarga bukan hanya menghitung penghasilan seorang Ayah atau kepala keluarga. Menghitung penghasilan keluarga harus juga menghitung penghasilan ibu dan juga penghasilan anak. Penghasilan keluarga adalah gunggungan (gabungan) penghasilan yang juga diterima atau diperoleh ibu dan anak. Bila seorang anak di bawah umur sudah memiliki penghasilan, misalnya karena si anak punya keahlian tertentu, atas penghasilannya harus digunggungkan dengan penghasilan Ayahnya.

Begitu pun ibu yang punya penghasilan, misalnya dari penghasilan salon atau usaha jasa tata boga (catering), atas penghasilan tersebut harus digabung dengan penghasilan Ayah. Namun dalam hal-hal tertentu (Pasal 8 ayat 2 UU Pajak Penghasilan), penghasilan ayah dan ibu bisa dikenai secara terpisah apabila : Pertama, ayah (suami) dan ibu (istri) hidup berpisah berdasarkan putusan hakim; kedua, dikehendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan; atau ketiga, dikehendaki oleh ibu yang memilih menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri.

Dari ketentuan tersebut, UU Pajak Penghasilan secara tegas menempatkan prinsip hukum keluarga berdiri pada posisi paling tinggi. Namun tetap diberikan kemungkinan pengecualian berdasarkan UU PPh itu sendiri. Ayah sebagai kepala keluarga hanyalah tempat atau sarana menyatukan proses penghitungan pajak yang diterima suatu keluarga. Sarana penghitungan melalui Ayah, bisa saja digantikan dengan peran ibu kalau memang ibu menjadi kepala keluarga dalam suatu keluarga.

Prinsip undang-undang pajak yang menempatkan kepala keluarga melakukan pemenuhan pajak, sudah tepat. Kalau begitu, dengan melibatkan peran ibu dan anak dalam proses penyampaian SPT Tahunan PPh, harus ditegaskan sekali lagi bahwa bangga bayar pajak bukanlah suara asing atau aneh. Bangga bayar pajak adalah cerminan suara undang-undang pajak yang menjadi kesepakatan kita bersama.

Koran Jakarta, 21 Maret 2011

Tidak ada komentar: