Selasa, 15 Maret 2011

Mafia Pajak Memaksa Negara Cari Utang

Potensi riil pendapatan negara dari pajak saat ini Rp1.000 triliun. Namun, perampokan uang negara oleh mafia pajak memaksa Indonesia terus mencari utang di pasar uang internasional untuk menyangga APBN.

Rakyat pun diminta terus berkorban dengan mencicil pokok dan bunga utang luar negeri. Keuangan negara akan jauh lebih kuat jika kita bersatu memerangi mafia pajak.

Potensi penerimaan negara dari pajak masih jauh lebih besar dari sekadar jumlah yang dipatok dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Ada beberapa faktor yang menyebabkan potensi besar itu belum termanfaatkan. Pertama, UU perpajakan belum membidik semua obyek pajak.

Kedua, kesadaran masyarakat membayar pajak belum ideal sehingga rasio pajak masih rendah. Ketiga, efektivitas peran Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan belum maksimal. Keempat, birokrasi negara melahirkan dan menumbuhkembangkan mafia pajak.

Akibatnya, hampir setiap tahun pemerintah nyaris tak pernah bisa mencapai target penerimaan pajak.Penerimaan pajak tahun lalu gagal dari target APBN-P 2010. Jumlah finalnya hanya Rp649,042 triliun atau 98,1 persen dari target Rp661,4 triliun.

Kegagalan mencapai target pun terjadi pada 2009,hanya Rp565,77 triliun atau 97,99 persen dari target APBN-P 2009. Sudah menjadi pemahaman bersama bahwa pembiayaan APBN sangat bergantung pada besar kecilnya kontribusi pendapatan negara dari pajak. Peran pajak dalam pembiayaan APBN terus membesar. Porsinya kini sekira 80 persen.

Untuk menutupi kekurangan pembiayaan APBN, pemerintah terpaksa mencari pinjaman dari pasar uang. Hingga tahun lalu, total utang pemerintah sudah mencapai Rp1.676 triliun. Dalam enam tahun terakhir ini,utang negara bertambah Rp300 triliun lebih.

Desember 2010 lalu misalnya, pemerintah menambah utang dari ADB sebesar USD200 juta. Ironisnya, pada saat bersamaan, Indonesia pun terus mencicil pokok dan bunga utang luar negeri terdahulu. Untuk 2011 ini,pemerintah mengalokasikan pembayaran utang Rp116, 4 triliun, sedangkan jumlah yang dibayar tahun lalu Rp105 triliun. Lalu, apa urgensinya memerangi mafia pajak?

Karena mafia pajak diberi keleluasaan merampok ratusan triliun uang negara. Seorang guru besar ekonomi pernah mengungkapkan perkiraannya bahwa kerugian negara per tahun mencapai Rp360 triliun karena perampokan oleh mafia pajak. Perkiraan ini logis kalau kita mengacu pada modus yang diterapkan tersangka penggelap pajak Gayus Tambunan.

Bayangkan, besarnya jumlah pajak yang dirampok sampai tiga kali lipat dari jumlah anggaran yang dialokasikan negara untuk membayar pokok dan bunga utang luar negeri per tahunnya.

Beban pembayaran pokok dan bunga utang luar negeri per tahun itu menyebabkan APBN kita tidak leluasa membiayai pembangunan. Sebagai mesin penggerak ekonomi negara, aspek kemampuan APBN benar-benar tidak ideal lagi. Untuk membiayai reformasi birokrasi dengan pendekatan remunerasi misalnya, negara harus menggunakan dana pinjaman dari pasar uang yang bunganya tidak murah.

Modus
Sudah lama para ekonom meyakini bahwa potensi pajak dan cukai di negara ini sangat besar, tetapi pemerintah belum sistematis mengoptimalisasi pendapatan dari sektor pajak dan cukai.

Coba bandingkan antara realisasi pendapatan negara dari pajak dengan jumlah pajak yang dirampok mafia pajak. Jumlah penerimaan negara dari pajak per 2010 mencapai Rp649,042 triliun, sementara jumlah yang dirampok mafia pajak mendekati Rp400 triliun per tahun.Logika sederhananya adalah potensi riil penemaan negara dari pajak saat ini di kisaran Rp1.000 triliun.

Potensi riil ini bisa diwujudkan jika birokrasi negara tertib dan bersih. Memang, ekstensifikasi pajak menjadi opsi tak terhindarkan dan harus berkelanjutan. Namun, penegak hukum pun harus memperkecil ruang gerak mafia pajak.

Jangan sampai rakyat dipaksa patuh pada program ekstensifikasi, tetapi sistem dan praktik hukum negara gagal mengeliminasi mafia pajak. Diotaki oknum birokrasi negara, mafia pajak bekerja dan beroperasi dengan memanfaatkan kelemahan undang-Undang (UU), kelemahan peraturan pemerintah dan kelemahan sistem.

Di balik kelemahan UU dan sistem itu, mafia pajak berlindung. Namun, jika penegak hukum telaten dan konsisten, memerangi mafia pajak bukan pekerjaan sulit. Apalagi jika ada kemauan politik dari pemerintah.

Oleh oknum atasannya, Gayus diberi wewenang menggunakan modus diskon pajak. Oknum Ditjen pajak lainnya menggunakan modus manipulasi restitusi pajak. Modus paling aman adalah memenangkan wajib pajak (WP) dan mengalahkan negara di pengadilan pajak.

Namun, Modus mafia pajak tak hanya sebatas itu.Temuan-temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pun patut didalami penegak hukum karena ada kelemahan atau kesalahan yang patut dicurigai sebagai kesengajaan oknum.

Misalnya, dalam pemeriksaan di sebuah KPP wajib pajak besar,BPK menemukan KPP itu belum melakukan tindak lanjut optimal atas potensi penerimaan pajak, sehingga laporan usaha WP tidak dapat diyakini kebenarannya. BPK menilai petugas pajak belum mengikuti ketentuan dan prosedur dalam pemanfaatan data ekualitas (kesamaan) PPh dan PPN.

Temuan BPK lainnya juga memperlihatkan importir yang memasukkan barang dari luar daerah pabean terindikasi belum bayar PPN impor dan PPh Pasal 22 impor.

Pertanyaannya, apakah rendahnya efektivitas kerja KPP itu semata-mata karena kelemahan aspek teknis para petugas pajak, atau “kelemahan” itu menjadi modus untuk mencuri uang negara? Mantan Ketua Tim Independen Mafia Hukum Polri, Mathius Salempang sempat menguraikan beberapa modus operandi mafia pajak lainnya.

Misalnya, negosiasi dengan penilik pajak, persekongkolan ketika dilakukan penyelesaian keberatan, konsultan pajak yang bertindak tidak sesuai perintah institusi maupun modus menahan surat keterangan pajak oleh Direktorat Pajak.

Jadi, mafia pajak adalah persoalan riil yang memaksa rakyat Indonesia terus menanggung beban utang luar negeri. Sayang, ada yang menolak ketika DPR ingin memerangi mafia pajak dengan usul penggunaan hak angket DPR.Mungkin, mereka memang mendapat untung dari eksistensi mafia pajak di negara ini.

BAMBANG SOESATYO
Anggota Badan Anggaran/
Komisi III DPR RI
(Koran SI/Koran SI/ade)
sumber: economy.okezone.com

Tidak ada komentar: